Fenomena Sensitif Gender Di Indonesia Serta Aplikasinya Pada Masyarakat
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dr. Nasaruddin Umar mendefinisikan gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan wanita dilihat dari segi social budaya. Gender dalam arti ini mendifinisikan laki-laki dan wanita dari sudut non biologis. Selain gender, jenis kelamin juga disebut dengan sex. Perbedaan antara keduanya yaitu, gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan wanita dari segi sosial-budaya. Sementara itu, sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan wanita dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormone dalam tubuh, anatomifisik, reproduksi dan karakteristik biologi lainnya. Sementara itu gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya.[1]
Terkait dengan fenomena sensitif gender yang terjadi di Indonesia, salah satu hal yang masih terus menjadi perdebatanya itu tentang kepemimpinan wanita dalam politik atau jabatan publik. Di Indonesia wacana hukum Islam tentang boleh tidaknya wanita menduduki jabatan publik, baik tingkat tertinggi maupun dalam level yang lebih rendah muncul relative baru. Topik ini mulai mengemuka pasca era Reformasi. Tepatnya, sejak 2001, yakni saat lengsernya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari tahta kepresidenan dan naiknya Megawati Soekarnoputri menjadi presiden wanita pertama di Indonesia. Namun, kontroversi pemimpin wanita sebenarnya sudah mulai berhembus jauh sebelum pemilu 1999. Pro kontra ini berasal dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari politisi partai yang berbasis Islam maupun dari kalangan non-partai termasuk akademisi, aktivis ormas Islam, bahkan dari kalangan santri.
Sejarah panjang Indonesia mencatat banyak tokoh-tokoh wanita yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan publik, bahkan menjadi pemimpin. Seperti, Megawati Soekarno Putri (Presiden RI ke-5), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), Airin Rachmi Diany (Bupati Tangerang Selatan) dan wanita lainnya dimana masih banyak posisis trategis politik yang didudukinya.
Terjadinya pro dan kontra dalam soal pemimpin wanita dalam Islam berasal dari perbedaan ulama dalam menafsiri sejumlah teks baik dari Al-Quran maupun hadits. Teks hadits dari Abu Bakrah dan QS An-Nisa 4:34 menjadi alasan paling mendasar dari kalangan ulama yang mensyaratkan kepemimpinan harus di tangan laki-laki dan menolak atas bolehnya peran wanita menduduki posisi tersebut. Sedangkan QS At-Taubat 9:71 serta hadits “wanita adalah saudara dari laki-laki” menjadi argument dasar ulama yang membolehkan pemimpin perempuan.
Pandangan Yang Mengharamkan Pemimpin Wanita
Pendapat yang mengharamkan kepemimpinan di tangan wanita, mendasarkan argumennya terutama pada QS AnNisa 4:34 dan hadits dari Abu Bakrah. Firman Allah SWT dalam Surat An- Nisaayat 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ... ٣٤
Dari Abu Bakrah radhiallahu anhu dia berkata, “Ketika Rasulullah SAW mendengar bahwa penduduk Persia mengangkat Puteri Kisra sebagai rajanya, beliau bersabda, “Tidak adakan beruntung kaum yang perkaranya dipimpin oleh seorang wanita.” (H.R. Bukhari)
Dari kedua nash tersebut kalangan ahli fiqih salaf, termasuk madzah empat berpendapat bahwa al-imam harus dipegang seorang laki-laki dan tidak boleh diduduki seorang perempuan.[2]
Pandangan Yang Membolehkan Pemimpin Wanita
Ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda terhadap kepemimpinan wanita dalam berpolitik. Qordhawi memperbolehkan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskan bahwa penafsiran terhadap surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik dari pada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki. Kepemimpinan laki-laki yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan di rumah tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka.[3]
Qardhawi juga menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara (riasahdaulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan atau pun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna. Menurut Qaradawi tidak ada satu pun nash Quran dan hadits yang melarang wanita untuk menduduki jabatan apapun dalam pemerintahan. Namun, ia mengingatkan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariah.
Sejalan dengan Qardhawi, Quraish Shihab juga mengatakan bahwa QS An-Nisa ayat 34 tidaklah mengenai kepemimpinan lelaki dalam segala hal (termasuk sosial dan politik) atas perempuan, melainkan kepemimpinan lelaki atas perempuan dalam rumah tangga. Artinya, menggunakan ayat ini sebagai larangan terhadap perempuan untuk memimpin dalam politik tidaklah tepat.
Quraish Shihab menambahkan, bahwa ada ayat lain yang justru memberikan tanda-tanda kebolehan kepemimpinan perempuan, yakni firman Allah SWT dalam QS at-Taubat 9:71. Yang artinya:
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ... ٧١
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong (awliyā`) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar…” (Q.S. at-Taubat, 9:71)
Melalui teks ayat ini, kata “sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain” berarti seorang perempuan dapat menjadi awliyā` bagi lelaki. Kemudian ia menyebutkan bahwa arti kata awliyā` adalah pemimpin, pelindung dan penolong. Meski dalam penerjemahan Kemenag menggunakan kata penolong, menurut Quraish Shihab keluasan makna kata awliyā` tentu saja dapat berimplikasi pada arti kepemimpinan.[4]
Meskipun masih menjadi perdebatan, fenomenas ensitif gender tentang kepemimpinan wanita ini terus terjadi di Indonesia. Ada golongan yang pro tetapi ada juga yang kontra, menolak kepemimpinan seorang wanita. Seorang wanita yang memilih untuk berkarir di dunia politik atau berpartisipasi dalam kegiatan publik, harus disebutkan bahwa kesibukannya itu tidak mengganggu perannya sebagai ibu dan istri. Sehingga beberapa ulama menyebutkan salah satu syarat bagi wanita untuk berpartisipasi dalam politik ialah, tidak mengganggu perannya yang lain yakni ibu dan istri. Tentu saja ini patut diingatkan karena al-Qur`an lebih menekankan pada peran wanita sebagai ibu dan istri yang baik dibandingkan peran wanita dalam berpolitik. (foto: dok Istimewa/internet)
Referensi
- Dr. Nasaruddin Umar, (1999), Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina.
- Yusuf Al-qaradhawi, (2008), Meluruskan Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme”, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
- Quraish Shihab, (1996), Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan.
- Fatih Syuhud, Pemimpin Wanita dalam Islam, 2013, http://www.fatihsyuhud.net/2013/11/pemimpin-wanita-dalam-islam
Oleh: Ahmad Baedowi, Dosen Agama Islam Universitas Indonesia
[1] Dr. Nasaruddin Umar, (1999), Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, hal. 35
[2]Fatih Syuhud, Pemimpin Wanita dalam Islam, 2013, http://www.fatihsyuhud.net/2013/11/pemimpin-wanita-dalam-islam
[3] Yusuf Al-qaradhawi, (2008), Meluruskan Dikotomi Agama &Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme”, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hal. 223
[4]QuraishShihab, (1996), Wawasan Al-Qur`an: TafsirMaudhu’iatasPelbagaiPersoalanUmat. Bandung: PenerbitMizan, hal. 314-315.