Moderasi Beragama dalam Menangkal Paham Radikalisme
Fenomena gerakan radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme akhir-akhir ini terjadi lagi di Indonesia, pada minggu 28 Maret 2021 aksi serangan bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar yang dilakukan oleh sepasang suami isteri yang mengakibatkan kedua pelaku tewas dan 20 orang mengalami luka-luka akibat ledakan bom tersebut.
Selang tiga hari dari kejadian bom Katedral Makasar yaitu 31 Maret 2021 terjadi lagi aksi teror yang terjadi di Mabes Polri yang dilakukan oleh seorang remaja putri berinisal ZA yang masuk ke area Mabes Polri dan melakukan aksi penembakan terhadap polisi yang ada di penjagaan sebanyak enam kali, kemudian dilumpuhkan dan tewas di tempat.
Paham radikalisme keagamaan yang kemudian berlanjut pada aksi-aksi terorisme di Indonesia sudah terjadi sejak lama. Sejarah mencatat bahwa aksi terorisme atau pengeboman pertama kali terjadi di Cikini pada 30 November 1957. Kemudian disusul dengan munculnya kekerasaan oleh gerakan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosoewirjo (1950-an hingga awal 1960-an).
Pada masa Orde baru muncul juga serangkaian kekerasaan dan pengeboman yang dikaitkan dengan Komando Jihad (Komji), pembajakan pesawat terbang Woyla oleh sekelompok fundamentalis jamaah Imron bin Muhammad Zein tahun 1981 dan peledakan Candi Borobudur oleh sekelompok Syaih yang dipimpin Hussein al Habsy tahun 1985. Aksi teror sporadis dan berskala massif, juga dengan berlatar belakang keagamaan, kembali hadir seiring transisi demokrasi hingga saat ini (Mubarak, 2015).
Radikalisme dalam sudut keagamaan bisa diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut paham/aliran ini menggunakan cara-cara kekerasaan untuk mengaktulisasikan paham keagamaan yang diyakininya (Fanani, 2002).
Kementerian Agama Republik Indonesia diakhir tahun 2019 mengeluarkan buku moderasi beragama dimana buku ini bisa menjadi sebuah acuan atau rujukan konsep umat beragama dalam melakukan aktivitas/praktik beragama. Kata moderasi dalam KBBI berasal dari bahasa latin moderatio, yang berarti kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan).
Maka, ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama, menjadi moderasi beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasaan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama (Tim Penyusun Kementerian Agama, 2019). Moderasi beragama merupakan konsep yang diharapkan dapat diimplementasikan oleh seluruh umat beragama di Indonesia sehingga tercipta kerukunan intraumat beragama, antarumat beragama dan antarumat beragama dengan pemerintah.
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan mengambil tema yang berbeda-beda namun concern terhadap isu-isu aktual keagamaan yang terjadi saat ini, yaitu tentang moderasi beragama dan radikalisme. Tema-tema yang dikaji dalam penelitian ini dapat di kelompokan dalam 5 isu, yaitu :
1. Moderasi Beragama dalam Menangkal Paham Radikalisme (Prespektif dan Strategi Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Ciamis).
2. Dinamika Forum Silahturahim Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten serta pandangannya serta pandangannya tentang radikalisme dan moderasi beragama.
3. Mazhab Takfiriyah Menuju Wasathiyah (Peran dan Strategi Penyuluh Agama Islam dalam Dakwah Moderasi di Kota Serang).
4. Pandangan Sosial-Keagamaan Mantan Narapidana Terorisme yang Berada dalam Pembinaan Densus 88 AT Polri.
5. Peran Penyuluh Agama dalam Upaya Pencegahan Dini Konflik Keagamaan.
Pemahaman moderasi beragama dalam menangkal paham radikalisme diharapkan bisa menjadi bahan pijakan bagi stakeholder dalam mengimplementasikan moderasi beragama yang sudah masuk kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Bagaimana langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan oleh semua elemen pemerintah agar moderasi beragama dapat diwujudkan dalam sebuah tindakan yang nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka menciptakan kerukunan dan stabilitas nasional.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dipahami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2010).
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (In-dept interview), studi dokumen dan observasi. Wawancara dilakukan dengan para informan yang dipandang memiliki informasi yang relevan dengan tema penelitian. Studi dokumen dengan mengambil data yang ada di objek penelitian dan juga mengambil data lainnya sesuai dengan kebutuhan penelitian. Observasi dilakukan dengan turun langsung ke objek penelitian mengamati dan mencermati segala aktivitas yang dilakukan.
Temuan Penelitian
Secara garis besar temuan penelitian dari 5 tema yang diambil adalah:
1. Novi Dwi Nugroho melakukan penelitian di Kabupaten Ciamis dengan tema “Pemahaman Moderasi Beragama dalam Menangkal Paham Radikalisme di Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Ciamis”. Salah satu hasil temuannya adalah masyarakat Ciamis merupakan masyarakat sangat responsif terhadap isu-isu yang terkait keagamaan.
Sebagai contoh pada saat aksi demonstrasi 212 yang terjadi pada 2016 banyak sekali masyarakat Ciamis yang datang ke Jakarta bahka ada yamg melakukan aksi jalan kaki, kemudian pada saat penangkapan Habib Riziq Shihab banyak pula masyarakat Ciamis yang melakukan demonstrasi baik yang datang ke Jakarta maupun melakukan demonstrasi di Ciamis.
Terkait pemahaman moderasi beragama dipahami oleh para perwakilan majelis-majelis agama yang duduk di FKUB Ciamis adalah sebuah sikap saling hormat menghormati terkait keyakinan atau aqidah dari masing-masing umat beragama. Memberikan kenyamanan kepada umat agama lain untuk melakukan peribadatan dan juga menjaga keharmonisan antar umat beragama dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Strategi dalam menangkal paham radikalisme adalah dengan menampung dan merangkul semua perwakilan organisasi keagamaan yang ada di kabupeten Ciamis dan tetap mempertahankan keterwakilan dari organisasi keagamaan yang sudah dilarang oleh pemerintah (HTI dan FPI).
2. Ismail melakukan penelitian di Provinsi Banten dengan tema “Dinamika Forum Silahturahim Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten serta pandangannya tentang radikalisme dan moderasi beragama”. Hasil dari kajian ini menyimpulkan bahwa dinamika di FSPP Provinsi Banten konstelasinya sangat dinamis baik yang berkaitan dengan pemikiran, aksi maupun organisasi.
Pandangan terhadap radikalisme, bahwa radikalisme terbagi 2 kategori, kategori pertama itu ada pada gagasan dan pemikiran dan yang kedua adalah dalam tindakan. Konsep moderasi beragama dalam pandangan FSPP lebihtepat pada konsep moderasi kehidupan beragama.
3. Fikriya Malihah melakukan penelitian di Kota Serang dengan tema “Mazhab Takfiriyah menuju Wasathiyah” Peran dan Strategi Penyuluh Agama Islam dalam Dakwah Moderasi di Kota Serang. Temuan hasil penelitian ini menyatakan bahwa di kota Serang terdapat banyak kelompok keagamaan yang terindikasi radikal kanan yang kontra dengan NKRI, terbukti dengan masih eksisnya gerakan kelompok ekstrem.
Temuan lainnya didapatkan bahwa moderasi yang dipahami oleh penyuluh agama masih belum sempurna dan cenderung mengabaikan penyertaan wawasan kebangsaan dalam proses pembinaan moderasi kepada masyarakat. Dampak yang ditimbulkan bahwa masyarakat yang tidak memahami konteks kebangsaan yang baik cenderung kontra dengan pemerintah dan mudah disusupi dengan paham-paham yang digerakkan oleh kelompok radikal.
4. Rudy Harisyah Alam melakukan penelitian di Kota Cirebon dengan tema “Pandangan sosial-keagamaan mantan narapidana terorisme yang Berada dalam Pembinaan Densus 88 AT Polri”. Dari hasil kajian ini menyimpulkan bahwa pandangan dari mantan narapidana terorisme ini telah mengalami perubahan pandangan sosial-keagamaan, dari sebelumnya yang bercorak takfiri kepada pandangan yang lebih moderat.
Untuk saat ini, mereka lebih berorientasi pada pemahaman salafi, yang tidak menekankan pada aksi kekerasan sebagai strategi untuk melakukan perubahan dalam rangka implementasi syariat Islam.
5. Marpuah melakukan penelitian di Kota Bekasi dengan tema “ Peran Penyuluh Agama dalam Upaya Pencegahan Dini Konflik Keagamaan”. Salah satu temuan penelitiannya adalah bahwa konflik keagamaan yang terajdi di Kota Bekasi dilatarbelakangi oleh isu-isu komunal terkait pendirian rumah ibadat.
Kota Bekasi yang merupakan kota penyangga ibukota sehingga dijadikan tempat persembunyian oleh para pelaku tindak terorisme ini dibuktikan dengan banyaknya terduga teroris yang tertangkap di kota ini. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah kota Bekasi untuk lebih waspada dan selektif terhadap pendatang yang datang ke kota Bekasi.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan temuan riset diatas, beberapa rekomendasi kebijakan disarankan sebagai berikut:
1. Novi Dwi Nugroho merkomendasikan, harus ditingkatkan lagi koordinasi dan kerjasama antara Kementerian Agama Kabupaten Ciamis, FKUB Kabupaten Ciamis, Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis dan juga aparat keamanan (TNI dan Polri) serta dengan elemen masyarakat (tokoh agama, tokoh masyarakat serta tokoh pemuda) dalam upaya menangkal paham-paham radikalisme terutama dikalangan anak muda. Sosialisasi terkait radikalisme dapat dilakukan disekolah-sekolah dan kampus-kampus yang ada di Kabupaten Ciamis. Seperti kita ketahui pelaku-pelaku aksi kekerasaan atau terorisme akhir-akhir ini dilakukan oleh anak-anak muda yang kebanyakan mereka terpapar dari media sosial sehingga sulit untuk mendeteksinya.
2. Ismail merekomendasikan kepada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten c.q Kepala Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam ( Kabid Pakis), agar meng-update data pondok pesantren yang ada di wilayah Banten, sehingga dapat terkonekvitas jaringannya secara baik dan memudahkan pihak Kementerian Agama memonitor kegiatan pondok pesantren tersebut dalam rangka meminimalisir masuknya paham keagamaan yang radikal dan cenderung menimbulkan ekstremisme kekerasan di pondok pesantren.
3. Fikriya Malihah merekomendasikan, perlu ada pendidikan dan pelatihan kepada para penyuluh agama Islam terkait konsep moderasi beragama yang tepat dengan memfokuskan pada indikator cinta tanah air, toleransi yang tinggi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap budaya lokal. Sehingga para penyuluh agama dapat menguasai materi dan juga cara penyampaiannya kepada masyarakat.
4. Rudy Harisyah Alam merekomendasikan, Kementerian Agama perlu mendukung program pembinaan mantan narapidana terorisme, yang telah diinisiasi Densus 88 AT Polridalam bentuk kegiatan pemulihan dan pemberdayaan ekonomi keluarga mereka. Dukungan tersebut dapat dilakukan dengan menugaskan aparatur Kementerian Agama, mulai dari penyuluh agama, penghulu, Kepala KUA Kecamatan, hingga Kepala Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk:
a. Menyusun rencana program kolaborasi Kementerian Agama-Densus 88 AT Polri untuk melakukan pembinaan terhadap mantan narapidana terorisme dimasing-masing wilayah kerja.
b. Mempersiapkan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan aparatur Kementerian Agama yang akan diberi tugas untuk melakuukan pendampingan/pembinaan
c. Melakukan pemantauan secara berkala terhadap kemajuan kegiatan pembinaan/pendampingan
d. Melakukan evaluasi untuk menilai hasil atau capaian (outcomes) dari kegiatan pembinaan/pendampingan kolaboratif tersebut yang dapat dijadikan sebagai masukan untuk perencanaan program berikutnya.
5. Marpuah merekomendasikan, perlu adanya peningkatan dukungan dari pemerintah baik secara moril maupun materiil bagi para penyuluh Non PNS untuk lebih meningkatkan kualitas kinerja penyuluh dimasing-masing wilayah binaannya.