Rasionalitas Muqallid atas Ijtihad Para Mujtahid
Bagi kalangan umat Islam, wabah COVID-19 telah menjadikan diskursus keagamaan semakin menarik. Tidak hanya di Indonesia, tapi hampir di seluruh dunia. Hal ini misalnya dibuktikan dengan adanya fatwa-fatwa tentang aktivitas keagamaan dari berbagai ‘lembaga fatwa’ di beberapa negara seperti al-Azhar Mesir, Dar al-Ifta Uni Emirat Arab, Komisi Ulama Senior Arab Saudi, dan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Juga termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang keduanya merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, dan bahkan dunia.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan, kebanyakan adalah tentang penundaan sementara kegiatan shalat jam’aah dan aktivitas shalat jum’at yang kemudian menuai pro kontra luar biasa. Padahal, secara logis fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Ulama dalam berijtihad telah disandarkan kepada landasan-landasan yang mengarah kepada kemaslahatan, bukan sebaliknya. Atas dasar itu, maka masyarakat muslim yang dalam konteks ini bukan termasuk mujtahid dan hanya muqallid, wajib hukumnya mengikuti pendapat para Ulama tersebut.
Mengapa demikian? Karena muqallid tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melukan ijtihad. Maka pilihan terbaik dari seorang muqallid adalah mengikuti ketentuan ijtihad yang telah ditetapkan oleh para Ulama Mujtahid. Terlebih para Ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad bukanlah sembarang orang. Mereka bukan saja orang yang sekadar bisa membaca al-Qur’an, namun juga mengerti secara detail tentang metode istinbath. Jadi, secara umum seorang muqallid ‘bukan levelnya’ untuk menentang ijtihad dari para Ulama mujtahid.
Perlu diketahui, bahwa menurut pendapat asy-Syaukani bahwa kriteria seorang mujtahid didasarkan atas beberapa kemampuan intelektual yang sangat kompleks. Pertama, mereka disyaratkan harus menguasai teks al-Quran dan as-Sunnah, terutama teks-teks atau pun hadits yang berkaitan dengan hukum syariat. Kedua, para mujtahid juga harus memiliki pengetahuan tentang permasalahan ijma’. Hal ini diperlukan agar dalam berfatwa tidak bertentangan dengan perkara yang sudah ada ijma’nya. Ketiga, memiliki pengetahuan mendalam tentang bahasa arab. Keempat, memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ushul fiqih, dan kelima menguasai seputar permasalahan nasikh dan mansukh.
Oleh karena itu, umat Islam—sekali lagi—yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka secara otomatis statusnya bukanlah seorang mujtahid, melainkan seorang muqallid yang salah satu ‘kewajibannya’ adalah mengikuti ijtihad para Ulama. Termasuk dalam hal mengikuti keputusan tentang penundaan sementara pelaksanaan shalat berjama’ah dan shalat jum’at sebagaimana yang disepakati oleh mayoritas Ulama. Sekali lagi, bahwa apa yang telah difatwakan oleh para Ulama, pasti telah melewati berbagai pertimbangan matang dengan sumber-sumber hukum yang jelas, kaidah-kaidah yang logis, berbagai hal lain yang pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Islam dan Kemaslahatan
Kemaslatahan adalah hal yang sangat prinsipil dalam penetapan hukum Islam, sehingga pendapat apapun yang diambil oleh para Ulama harus didasarkan atas asas kemaslahatan bagi umat manusia. Termasuk yang saat ini tengah kita hadapi bersama terkait dengan adanya wabah COVID-19. Meski dalam kenyataannya, masih banyak masyarakat yang tak mau mengindahkan himbauan dan fatwa dari para Ulama dengan berbagai alasan yang ‘kuat’. Termasuk narasi tentang larangan takut kepada Corona dan hanya takut kepada Allah.
Mungkin sekilas terlihat benar, karena dalam narasi tersebut seolah ada pesan untuk mengutamakan Allah di atas makhluk-Nya. Namun apakah itu berdasar? Di sini maka tugas para Ulama adalah melakukan penjelasan-penjelasannya secara logis agar dapat diterima oleh masyarakat umum. Tentu tidak salah bahwa manusia harus takut kepada Allah, bukan kepada makhluknya. Namun, esensi dalam COVID-19 adalah bukan menyoal tentang ketakutan terhadap makhluk dan mengalahkan ketakutan kepada Allah, akan tetapi ini adalah tentang konsepsi hifdzu an-Nafs (menjaga diri/nyawa).
Hifdzu an-Nafs berarti umat Islam berkewajiban untuk menjaga diri sendiri dan orang lain. Termasuk dalam praktiknya saat ini adalah dengan mengurangi aktivitas kerumunan, baik yang sifatnya aktivitas sosial maupun aktivitas keagamaan seperti shalat jama’ah dan sholat jum’at, karena sifat dari penyebaran COVID-19 adalah pada masalah interaksi antar manusia. Sehingga mengurangi interaksi satu sama lain adalah upaya untuk melindungi diri sendiri dan orang lain.
Salah satu kaidah yang jamak dipahami oleh umat Islam dalam hal ini adalah kaidah laa dharar wa laa dhirar yang artinya bahwa secara umum manusia tidak boleh melakukan hal yang membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain. Maka dari itu, fatwa Ulama tentang larangan sementara shalat jama’ah, shalat jum’at dan bahkan aktivitas keagamaan lainnya tidak boleh dimaknai sebagai upaya Ulama menjauhkan umat dari masjid. Tetapi sebaliknya, hal itu merupakan upaya Ulama untuk tetap menjaga manusia dalam eksistensi kehidupannya.
Hal lain yang juga harus dipahami oleh seluruh umat Islam adalah bahwa menjaga keberlangsungan hidup umat manusia (hifdzu an-Nafs) dalam fiqh adalah hal yang bersifat dharuriyat (primer). Artinya hal ini harus dijadikan prioritas dibandingkan dengan hal lain, termasuk menyoal shalat berjama’ah dan shalat jum’at sekalipun. Sekali lagi, ini bukan menyoal larangan untuk berjama’ah atau pun sholat jum’at, tapi bahwa upaya untuk menghambat penyebaran penyakit yang dapat menganggu kelangsungan hidup manusia tentu harus lebih didahulukan.
Kaidah yang sangat rasional dalam fiqh misalnya, dar’u al-mafasid muqaddamun ‘alaa jalb al-mashalih yang artinya bahwa mencegah kerusakan/kemudharatan itu harus lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan. Artinya, jika mencegah kemudharatan itu hal yang maslahat maka hal tersebut harus lebih diutamakan. Sayangnya, narasi yang dikembangkan dipublik justru sebaliknya, hasil ijtihad para Ulama malah dinarasikan seolah-olah sedang menjauhkan umat Islam dari masjid, padahal tidaklah demikian. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa, para Ulama tidak mungkin menjauhkan umatnya dari masjid, tapi mereka sedang berupaya untuk menjaga kelangsungan hidup umat manusia sebagai khalifah fi al-ardh.
Dalam menyikapi masalah pandemi yang terus mewabah hingga saat ini, selain permasalahan kesehatan dan ekonomi yang secara otomatis berpengaruh, umat Islam kini juga harus mengadapi tantangan dalam aktivitas keagamannya. Paling tidak ada dua pilihan yang saat ini sedang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Pertama, mengikuti pendapat rasional dari para Ulama mujtahid yang dasar hukumnya diambilkan dari nash dan sumber-sumber pendapat Ulama terdahulu yang terpercaya. Jika mengikuti pendapat ini, tentu saja umat Islam saat ini tidak lagi akan dipusingkan dengan masalah maraji’ atau landasannya, karena kita tinggal mengikuti saja fatwa mereka.
Atau yang kedua, pendapat rasional yang bersumber dari rasionalitas akalnya sendiri. Fenomena ini juga masih banyak ditemui di masyarakat kita. Tidak bisa dipungkiri bahwa tidak sedikit juga dari umat Islam yang menganggap bahwa fatwa-fatwa Ulama tentang penundaan sementara aktivitas keagamaan yang melibatkan banyak orang seperti tabligh akbar, shalat jama’ah dan shalat jum’at dianggap tidak logis dan bahkan dianggap—lagi-lagi—sebagai upaya Ulama untuk menjauhkan umat dari masjid. Tentu ini adalah pemikiran yang salah kaprah.
Oleh karena itu, pilihan untuk mengikuti pendapat rasional dari para Ulama mujtahid adalah pilihan yang paling masuk akal untuk para masyarakat awam atau para muqallid. Kita harus meyakini bahwa apa yang difatwakan oleh Ulama tentang penundaan sementara aktivitas melibatkan massa termasuk tabligh akbar, shalat jama’ah bahkan juga shalat jum’at adalah ikhtiar untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik. Begitu pula dengan asas maslahat dan madharat nya yang tentu sudah dipertimbangkan matang-matang oleh para mujtahid sebelum mengambil sebuah fatwa. Maka, menurut saya dalam mencegah penyebaran Pandemi COVID-19 saat ini, mengikuti fatwa Ulama mujtahid adalah bagian dari ketaatan kita dalam beragama sekaligus mengedepankan rasionalitas di atas ‘emosionalitas’ (foto; internet)
Oleh: Slamet Tuharie (Mahasiswa Sekolah Pascasarjana, Islamic Studies, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)