Urgensi Penguatan Pendidikan Agama Islam
JAKARTA – Pendidikan Islam memiliki peran yang penting, bahkan sebelum negeri ini merdeka. Terlebih, di negara Indonesia ini, pendidikan menjadi indikator yang signifikan dalam membangun karakter bangsa. Untuk menyokongnya, FITK UIN Syarif Hidayatullah mengadakan Pre-ICEMS 2022 Webinar dengan tajuk The Future of Islamic Education: Research Perspective tanggal 13 Juli 2022 pukul 09.00 s.d. 13.00 WIB. Ini adalah rangkaian acara The 8th International Conference on Education in Muslim Society (ICEMS) 2022, acara tahunan yang diadakan FITK sebagai ajang curah gagasan yang melibatkan peneliti dari pelbagai penjuru dunia.
Menurut Dr. Suririn, M.Ag., Dekan FITK, cara ini merupakan bentuk aktualisasi FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai lembaga yang diharapkan menjadi kiblat bagi penelitian dan pengembangan pendidikan agama Islam di Indonesia. Tidak hanya itu, acara yang bekerja sama dengan Balai Litbang Agama Jakarta ini diharapkan menghasilkan gagasan baru dalam bidang keislaman yang diejawantahkan dalam bentuk artikel ilmiah, tutur Dr. Samidi, M.Si. dalam sambutannya.
Perihal tema acara ini, Dr. Azkia Muharom Albantani, M.Pd.I, ketua pelaksana ICEMS 2022 menuturkan bahwa isu pendidikan Islam atau pendidikan pada umumnya menyita perhatian banyak pihak terutama dalam hal pembangunan sistem pendidikan. Dalam konteks Indonesia, pendidikan agama Islam terbilang unik karena hasil perpaduan dari nilai-nilai religiusitas, tradisional dan pengaruh modernitas. Sejatinya, pendidikan Islam sebagai bagian dari pengetahuan dapat memecahkan problem-problem kemanusiaan.
Terkait dengan pendidikan Islam, Dr. Siti Khadijah, narasumber webinar menuturkan bahwa berdasarkan hasil survei Setara Institute, Wahid Institute, BNNRI wajah pendidikan Indonesia dihantui dengan penggunaan narkoba, masalah sikap intoleransi, potensi melakukan aksi radikal dan terorisme di kalangan siswa dasar sampai menengah atas. Hal ini, pun diperburuk dengan temuan PKIM UIN Syarif Hidayatullah bahwa buku ajar pendidikan agama Islam tidak proporsional, repetisi materi, opini yang monolitik, dengan ilustrasi yang tidak multikultur dan contoh prototipe kekerasan.
Sekelumit persoalan ini menurut dosen UIN Syarif Hidyatullah Jakarta menunjukkan bahwa pendidikan agama Islam belum sampai tahap menyentuh sisi emosional, spiritual, dan aspek moral. Untuk itu, maka pendidikan pgama Islam mesti berorientasi pada pembentukan karakter melalui pendidikan agama Islam yang berbasis pada nilai (value based PAI learning) sehingga terbentuk sikap rendah hati, jujur, toleran kepekaan rasional, emosional, dan timbul daya kritis.
Pendidikan berbasis karakter juga bisa dilakukan dengan metode pengenalan gender kapada anak. Hal ini diungkapkan Dr. Latifah Hasanah, M.Pd. narasumber yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengenalan gender dalam pendidikan terutama pada pendidikan usia dini membuat akan akan peka terhadap peran gendernya sehingga tumbuh rasa percaya diri dan identitas diri dengan baik.
Senada dengan pernyataan di atas, Abdul Basid, M.Pd. dari Direktorat PTKI mengemukakan bahwa pendidikan gama Islam seyogiayanya berorientasi pada pembentukan ahlak yang mulia. Terlepas dari persoalan terkait infrastruktur, sarana dan prasarana, upaya pengembangan pendidikan agama Islam ini perlu kerja sama dan andil dari berbagai pihak, seperti orang tua, guru, pengelola madrasah atau lembaga pendidikan dan pemerintahan.
Di sisi lain, persoalan pendidikan Islam juga menyentuh aspek toleransi dan hidup dalam harmoni. Seperti yang dijabarkan Rudi H. Alam dari Badan Riset dan Inovasi Nasional di Indonesiat terdapat beberapa desa yang beragam secara agama (Islam, Kristen, Hindu Sikh, dan konfusius) namun hidup dalam harmoni, seperti di Desa Pabuaran, Gunung Sindur, Bogor jawa Barat. Ia mengatakan bahwa selama ini tempat yang menjadi contoh hidup harmoni jarang sekali diekspos, padahal ini bisa memberikan pengaruh positif dan teladan untuk wilayah lain. Berdasarkan hasil pengamatannya, dalam membentuk masyarakat yang harmonis peran pengampu kepentingan dinilai sangat penting terutama tokoh agama, pemerintahan desa, provinsi, universitas, dan organisasi keagamaan.
Webinar yang dipandu oleh Agus Sufyan, M.App.Ling ini berjalan dengan interaktif dan dihadiri 450 partisipan dari berbagai kalangan, seperti mahasiswa, dosen, dan praktisi pendidikan dan berbagai daerah di Nusantara.