Thaif Yang Menguatkan
  • BLA Jakarta
  • 19 Juni 2023
  • 1620x Dilihat
  • Opini

Thaif Yang Menguatkan

Aku gak tau harus mulai dari mana, tapi jujur aja, sejak niatan awal ke Thaif aku tak terlalu tertarik dengan keindahan alamnya, aku fokus pada interaksi batin yang nderedek dalam tarian memori sirah nabi; tempat yang akan kutuju adalah lokasi di mana sang nabi yang penuh kelembutan itu dihujani batu dan kotoran onta oleh penduduk Thaif yang menolak kedatangannya. ?

---- Perjuangan di Mekah sudah pol-polan saat itu. Dua pelindung Nabi, pamannya, Abu Thalib dan istrinya, Khadijah, sudah wafat, sementara tekanan kaum musyrikin mekkah semakin menjadi-jadi. Sang Nabi mengajak anak angkatnya Zaid ibn Haritsah menuju Thaif. Harapannya, da'wah akan diterima. Sepuluh hari Nabi berda'wah di Kota yang saat itu masih dikuasai Bani Tsaqif. Apa daya, bukan sambutan yang diterima, tetapi sambitan yang membuat beliau terluka. Penduduk Thaif terus menyerang dengan lemparan batu, mengejar Nabi hingga sejauh 5 Km. Zaid tidak tinggal diam, ia jadikan dirinya tameng tuk melindungi Sang Nabi, sekujur tubuh bersimbah darah, mulai dari kening hingga kaki. Demikian pula Sang Nabi, betis beliau berlumur darah, bahkan salah satu urat di atas tumit beliau putus hingga darah membasahi terompahnya. Zaid sedih sekali, ia sangat mengkhawatirkan luka Rasulullah ketimbang lukanya sendiri.

Di Wadi Waj; tempat sang Nabi dilempari batu hingga terluka itu, aku tertegun lama, tak kuhiraukan para peziarah dari negri turki yang berdatangan memenuhi mushalla kecil di tempat ini. Kehadiran mereka tak menggangguku, mereka semua diam, tampaknya juga sedang mengenang ratapan tersedih yang menimpa Nabi-nya agama ini.

Sang Nabi singgah di sebuah kebun Anggur milik Utbah, di sana beliau berdo'a, dan aku mengulang kembali do' beliau di tempat ini; “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan ketidakberdayaan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat yang Maha Pengasih dan Mahapenyayang, Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah Pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Jika Engkau tidak murka kepadaku, semua itu tidak kuhiraukan karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat, dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”

Allaaaaaaah ?

Bagaimana aku mengeluhkan tantangan da'wahku, bila Sang Nabi saja mengajarkan kelembutan sedemikian hebat. Rasanya tak sebanding dengan penderitaan yang dialami Sang Nabi. Beberapa kali memoriku melintasi waktu, saat ada sebagian laskar dari sebuah Ormas Islam di Jakarta yang menolak da'wahku, masih kuingat saat pukul 2 pagi mereka menggedor rumahku lalu mempertanyakan isi da'wahku yang dianggap menyerang organisasi mereka. Masih kuingat jelas "ketakutan" istriku yang di dalam mihrab terus berdzikir "Ya Lathif" memohon keselamatan suaminya. Ah. Dunia da'wah memang sarat tantangan.

Tidaaaaak.... Ini belum seberapa ketimbang penderitaan Sang Nabi ?

------ Luka Sang Nabi terus mengucurkan darah, Utbah pemilik kebun anggur meminta pembantunya untuk melayani Sang Nabi. Namanya Addas, seorang Kristen yang baik hati. Addas memberi Nabi setandan Anggur. Sang Nabi memakannya dengan Bismillah dengan mengakhirinya dengan Alhamdulilllah. Dua kalimat yang membuat Addas tertegun. Kelembutan hati sang nabi membuat Addas, ia merengkuh kepala Nabi, mencium tangan dan kakinya, lalu menyatakan keislamannya di hadapan Sang Nabi.

Setelah beberapa hari istirahat, Sang Nabi dan Zaid melanjutkan perjalanan menuju Mekkah. Tiba di Qarnil Manazil (tempat miqat), Malaikat Jibril datang meminta kepada beliau agar diizinkan menghancurkan penduduk Thaif. Malaikat Jibril mengutus para Malaikat penjaga gunung Abu Qubais dan Qoiqon yang terletak di antara Mekkah dan Thaif untuk menghancurkan penduduk Thaif, jika mereka diizinkan.

Akan tetapi Sang Nabi menolaknya, sebab telah memaafkan mereka. Beliau berharap semoga Allah memberikan kepada mereka keturunan yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Setelah itu beliau berdoa lagi kepada Allah: "Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui."

Menjelang memasuki Mekah. Kaum Musyrikin Quraisy menolak sang Nabi, memaksa Nabi singgah beberapa hari di Gua Hira. Hingga kemudian datanglah Al-Muthi'm bin Ady yang berasal dari Bani Naufal meminta Sang Nabi kembali ke Mekkah dan meneruskan dakwahnya. Rasulullah mendapat jaminan keamanan dari al-Muti'm bin Ady untuk meneruskan dakwahnya.

Jasa al-Muth’im ini selalu diingat oleh Sang Nabi. Sehingga seusai mengalahkan kaum kafir Quraisy dalam Perang Badr, Beliau bersabda perihal para tawanan:

لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا، ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلاَءِ النَّتْنَى لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ

Seandainya al-Muth’im bin Adiy masih hidup, lalu dia mengajakku berbicara tentang para korban yang mati ini, maka tentu aku serahkan mereka kepadanya.

------ begitu Mulia akhlaq Sang Nabi, bahkan usai mendapat tekanan berat dengan penderitaan yang amat sangat, beliau masih memaafkan para penentangnya.

Lalu mengapa umatnya sekarang masih sering memaki, mencaci, merobek jalan ukhuwwah bahkan kepada saudara mereka yang masih se-akidah?

Di Masjid Ku', di tempat sang Nabi istirah dan Addas merawat luka beliau, di Bumi Thaif yang diberkati, di sepenggal "Tanah Haram" yang dipagari (kudengar informasi ini dari santrinya Syekh Muhammad bin Ismail Azzain Al-Yamani), aku menyeru kembali soal persaudaraan, semoga setiap kita bisa memaknai tulisan ini untuk memelihara persaudaraan meskipun berbeda dalam pendapat atau pilihan. 


Ayah Enha (KH. Nurul Huda)

Pengasuh Pondok Motivasi Indonesia Bekasi