Tantangan Ramadhan di Tengah Pandemi
  • 30 April 2020
  • 1196x Dilihat
  • Opini

Tantangan Ramadhan di Tengah Pandemi

Ramadhan kali ini, sudah bisa dibayangkan akan sangat jauh berbeda dengan ramadhan-ramadhan pada tahun sebelumnya. Biasanya, ramadhan selalu dipenuhi dengan hiruk-pikuk aktivitas ibadah dan sosial yang hampir terjadi di setiap tempat. Terutama tempat ibadah, dengan segala aktivitas di dalamnya, seperti shalat tarawih, tadarus, kajian kitab, hingga i’tikaf dan shalat Id.

Begitu pula dengan tempat-tempat makan, yang biasanya akan dipenuhi dengan antrian orang-orang yang ingin melaksanakan waktu berbuka puasa dengan orang-orang terdekat. Baik itu keluarga, sahabat, teman-teman kantor, atapun komunitasnya masing-masing. Belum lagi, jika kita berbicara tentang pusat perbelanjaan, maka ramadhan adalah waktu yang sangat sibuk dan mungkin kesibukannya melebihi tempat-tempat ibadah. Terutama pada tanggal-tanggal akhir menjelang datangnya Idul Fitri.

Oleh Karen itu, tak heran jika di berbagai tempat perbelanjaan, pengusaha memberikan harga diskon khusus untuk momen ramadhan itu. Mulai produk makanan, fashion, bahkan sampai produk-produk elektronik juga tidak mau ketinggalan mengambil momentum ramainya ramadhan. Itu adalah gambaran ramadhan-ramadhan pada tahun sebelumnya yang telah berjalan di Indonesia yang selalu disambut penuh dengan suka cita.

Namun, pemandangan seperti itu kemungkinan besar tidak akan kita jumpai pada ramadhan kali ini, mengingat keadaan dunia yang sedang dalam masa pandemi. Shalat tarawih berdasarkan fatwa dari banyak ulama—atas dasar kemaslahatan—untuk sementara dilaksanakan di rumah masing-masing. Begitu pula dengan shalat Id, tadarus al-Qur’an dan termasuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti buka bersama dan sejenisnya.

Begitu pula dengan tempat-tempat perbelanjaan yang saat ini sudah banyak yang ditutup, termasuk aktivitas di dalamnya yang begitu terbatas. Hal ini karena adanya kebijakan dari pemerintah yang telah memberlakukan PSBB di berbagai kota di Indonesia. Belum lagi, ada juga kebijakan tentang larangan mudik bagi seluruh masyarakat Indonesia dari Jabodetabek dan zona merah lainnya. Tentu, kita bisa membayangkan bahwa ramadhan kali ini akan terasa begitu sepi, jauh dari hiruk-pikuk mobilitas manusia di tempat-tempat keramaian.

Culture Shock

Salah satu yang menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam Indonesia saat ini adalah mengalahkan aktivitas yang seolah sudah menjadi bagian dari budaya ramadhan di tanah air, sebut saja, kebiasaan buka bersama dan mudik ke kampung halaman. Bahkan, khusus untuk mudik lebaran karena sudah berlangsung dari zaman dahulu, ia seolah tak bisa dipisahkan dari amaliyah ibadah ramadhan. Namun begitulah kebudayaan masyarakat Indonesia.

Buka bersama mewakili karakteristik masyarakat yang penuh dengan rasa kebersamaan, dan mudik menjadi pengejawantahan atas karakter kekeluargaan yang kuat pada masyarakat Indonesia. Maka tidak heran jika kebijakan pemerintah terkait larangan kumpul-kumpul, terlebih larangan mudik pada ramadhan tahun ini telah menjadikan masyarakat kita mengalami semacam culture shock atau keterkejutan budaya.

Bagaimana tidak, kebiasaan kumpul-kumpul baik dengan keluarga maupun masyarakat umum adalah hal yang sudah mentradisi dalam masyarakat kita. Terlebih masyarakat di perdesaan dengan seperangkat kegiatannya, mulai dari tahlilan, barzanjian, qur’anan, majelis ta’lim dan berbagai kegiatan yang bersifat komunal lainnya yang sudah menjadi kegiatan rutinan. Hal inilah yang telah menjadikan masyarakat kita mengalami culture shock karena pandemi.

Namun, kita perlu sadari bahwa dalam mengambil kebijakan terkait larangan mudik misalnya, pemerintah tentu telah memikirkan matang-matang tentang maslahat dan madharat-nya. Mungkin untuk menyikapi hal ini, kita perlu membuka kembali kaidah fiqh yang lazim dipahami, yaitu kaidah tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah atau kebijakan yang diambil oleh pemimpin atas rakyatnya harus didasarkan atas kemaslahatan. Oleh karena itu, jika unsur kemaslahatan sudah terpenuhi dari kebijakan pemerintah itu, masyarakat wajib menaatinya sebagai bagian dari ketaatan terhadap ulil amri.

Memang, kebiasaan yang sudah mengakar dalam masyarakat kita tidak serta-merta bisa ditinggalkan begitu saja. Butuh proses bertahap dan kesadaran yang tinggi dari masyarakat kita. Mungkin tarawih, tadarus dan ta’lim masih bisa kita lakukan dari rumah, sehingga perlahan kita akan bisa beradaptasi dengan hal ini. Akan tetapi tidak dengan mudik, di mana itu tidak bisa tergantikan dengan hanya kita berdiam di rumah atau melakukan silaturahim dengan media smartphone kita. Karena kebersamaan dengan keluarga adalah hal yang tak akan tergantikan dalam tradisi di masyarakat kita.

Namun ada hal yang lebih besar dibalik anjuran pelaksanaan shalat tarawih dan buka puasa di rumah masing-masing, serta larangan terkait mudik. Apa itu? Ialah jihad dalam rangka menjaga keberlangsungan kehidupan manusia (hifzu an-nafs). Rosulullah saw—sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Nasa’i, dan Imam Ahmad—sediri menerangkan bahwa barangsiapa yang berdiam diri di kediaman masing-masing saat wabah melanda sebuah negeri, maka akan mendapatkan pahala setimpal dengan orang yang mati syahid.

Artinya, bahwa tarawih dan tadarus yang dilaksanakan di rumah masing-masing, dalam kondisi seperti ini sama sekali tidak mengurangi pahala ibadah kita dan juga tidak mengurangi keutamaan bulan Ramadhan. Oleh karena itu, dalam rangka memperlambat penyebaran COVID-19, ramadhan kali ini kita harus mengesampingkan hal-hal yang sudah membudaya di tengah-tengah kita dan menggantinya dengan mengutamakan dengan hal yang nilai maslahatnya lebih luas.

Terakhir, selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga kita mendapatkan maghfiroh-Nya dan menjadi manusia-manusia tangguh. Amiin (foto; internet)

Oleh; Slamet Tuharie (Mahasiswa Sekolah Pascasarjana, Islamic Studies, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)