Sertifikasi Ulama, Upaya Menjaga Marwah Agama
  • 13 Juli 2020
  • 1710x Dilihat
  • Opini

Sertifikasi Ulama, Upaya Menjaga Marwah Agama

Beberapa tahun terakhir ini, disadari atau tidak tren masyarakat Indonesia terhadap kajian agama semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengguna media sosial. Dengan adanya media sosial, baik facebook, instagram, twitter dan utamanya youtube, telah memudahkan orang untuk mengakses pengetahuan keagamaan hanya dengan gagdet. Hal ini yang kemudian dibarengi dengan menjamurnya konten-konten keagamaan yang siapa pun bisa mengisinya.

Parahnya lagi, problem baru kemudian muncul ketika orang-orang yang sebenarnya belum memiliki kemampuan yang cukup tentang pengetahuan keagamaan, juga ramai-ramai mengisi 'mimbar agama' di kanal-kanal media sosial. Tambah runyam lagi, ketika materi keagamaan dari mereka yang belum mumpuni paham keagamaannya, malah dianggap sebagai referensi otoritatif oleh masyarakat atau para jama'ahnya hanya karena ceramahnya viral, followernya banyak, ataupun like dan comment dalam setiap postingan konten itu jumlahnya banyak.

Sebenarnya hal ini tidak menjadi masalah berarti, ketika figur yang diidolakan memang benar-benar memiliki pemahaman keagamaan yang mumpuni. Artinya, justru itu menjadi faktor pendukung agar pendapat dan gagasannya dapat tersampaikan dengan baik kepada masyrakat. Tapi apa yang terjadi jika realitas dalam media sosial itu hanya bagian dari 'branding image'?

Bukan rahasia umum lagi jika untuk menambah follower ada jasa yang bisa digunakan. Begitu pula untuk like dan comment juga bisa mengandalkan jasa buzzer. Dalam dunia bisnis, strategi ini tentu tak terlalu bermasalah karena fokusnya pada bagaimana mencitrakan sebuah produknya sebagai produk yang berkualitas dan layak untuk dibeli. Tapi strategi dengan pendekatan semacam akan mengkhawatirkan jika diterapkan pada bidang keagamaan (baca: dakwah), karena ukuran otoritatif atau tidak pendapatnya adalah berdasarkan viralitas, respon dan follower pada dunia maya.

Dari fenomena ini, kemudian lahirlah 'Ulama-ulama' baru, dan‘ustadz-ustadzprematur’,yang menggunakan media sosial sebagai mimbarnya. Apakah ini berbahaya? Tentu ini adalah hal yang sangat membahayakan, sebab masyarakat tidak akan mendapatkan pemahaman agama yang sebenarnya, sehingga menyebabkan permasalahan-permasalahan baru baik dalam hal aqidah, ubudiyah, maupun muamalah. Belum lagi, marwah agama juga dipertaruhkan disini.

Maka dari itu, saya kira sudah saatnya bahwa penyampaian masalah keagamaan harus dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki kompetensi di bidang itu. Tak ada bedanya dengan masalah kesehatan yang harusnya disampaikan oleh pakar kesehatan, masalah ekonomi disampaikan oleh ahli ekonomi, begitu pula seharusnya masalah keagamaan juga harus disampaikan oleh orang-orang yang memang mumpuni dan otoritatif dalam bidang agama. Hal ini sangat penting agar masyarakat tercerdaskan bukan ‘tersesatkan’ atas pemahaman keagamaan yang diterimanya

Meluruskan Istilah Ulama

Sebenernya siapakah itu Ulama? Umumnya kita tahunya “al Ulama Warotsatul Anbiya” atau Ulama adalah pewaris para Nabi. Penjelasan makna ulama yang seperti itu, sama seperti ketika menjawab pertanyaan, “Apa itu sholat?”, terus dijawab “sholat adalah rukun Islam yang kedua.” Apakah itu menyelesaikan masalah dan orang-orang itu paham apa itu sholat? Tidak, karena itu hanya penjeleasan tentang kedudukan sholat. Sama dengan penjelasan tentang makna Ulama (yang berkedudukan) sebagai pewarisnya para Nabi.

Secara umum, kita hanya sering disuguhkan tentang definisi Ulama bukan tentang kriteria ataupun dari sisi kapasitas intelektual, tapi sebatas pada kedudukannya. Hal ini menurut saya satu problem tersendiri yang membuat umat Islam di Indonesia tak berani mengkritik pemikiran orang-orang yang dianggapnya Ulama, karena pemahaman yang selalu diberikan kepada masyarakat tentang Ulama selalu berkutat pada kedudukan sosial para Ulama.

Oleh karena itu, masyarakat juga perlu dijelaskan bahwa kata “Ulama” adalah jamak taktsir dari kata “‘Alim” yang berarti orang-orang yang mengetahui, orang-orang yang berilmu. Kalau begitu apakah Albert Einsten, Isaac Newton, dan Stephen Hawking itu bisa disebut Ulama? Ada dua pendapat. Pertama, yang menggeneralisir makna Ulama, mau itu yang Islam atau bukan, menguasai ilmu keislaman atau tidak tapi mereka ahli dalam suatu bidang keilmuan maka disebut sebagai Ulama.

Tapi menurut pendapat Kiai Ahmad Shiddiq (1926-1991), mereka tidak termasuk kategori Ulama, akan tetapi Zu’ama atau dibahasa Indonesia disebut Cendekiawan.Jadi menurutnya, sebutan Ulama hanya untuk mereka yang alim dalam keilmuan Islam.

Nah, menurut Abu Zahrah, yang disebut Ulama itu mereka yang memiliki beberapa syarat atau lebih tepatnya kriteria. Apa saja itu? Pertama, memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an termasuk di dalamnya harus mengetahui asbabal-nuzul, nasikh mansukh, mujmal-mubayyan, al-‘amwaal-khash, dan muhkam-mutashabih. Itu baru kriteria pertama menyoal kemampuannya terhadap al-Qur’an.

Kedua, yang disebut Ulama itu harus faham tentang seluk beluk hadis Nabi termasuk asbabal-wurud dan rijal al-hadits. Ketiga, kriteria Ulama juga harus menguasai bab-bab yang disepakati oleh Ulama atau disebut dengan Ijma’ dan paham masalah Qiyas sekaligus bisa mengimplementasikannya dalam istinbath hukum.

Selanjutnya yang keempat, kriteria Ulama itu harus menguasai Bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam termasuk kaidah-kaidah Ushulal-Fiqh. Kenapa begitu? Karena mereka harus paham sumber hukumnya, paham tujuan utama pemberlakuan hukum Islam yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat. 

Di samping itu, untuk menjamin bahwa orinisalitas pemahaman Islamnya sesuai dengan Ulama-ulama terdahulu, maka seorang Ulama juga harus membaca kitab-kitab karya Ulama yang mu’tabar, termasuk menjamin sanad keilmuannya tidak terputus sampai Rosulullah saw.

Maka dari itu, perlu ada regulasi yang mengatur tentang kriteria sesorang bisa disebut sebagai Ulamadari negara yang dalam hal ini merupakan tanggungjawab Kementerian Agama. Jika tak ada regulasi yang mengaturnya, baik dalam bentuk sertifikasi atau yang lainnya, maka bukan tidak mungkin umat Islam Indonesia semakin lama akan semakin mundur peradabannya. Di samping itu, marwah agama juga dipertaruhkan di sini. (foto: https://geotimes.co.id)

Oleh: Slamet Tuharie, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta