Sengkarut COVID dan Hilangnya Kepakaran
Ngga tahu soal agama, ngomong soal agama, bahkan sampai keluarin fatwa. Digelari ulama pula. Bukan pakar ekonomi, ngomong soal ekonomi. Bukan ahli kesehatan, ngomong soal kesehatan. Sampai ada acara di TV yang temanya apa saja, yang diundang ya itu-itu saja.
Kenapa? Karena memang tak ada lagi kepakaran di Indonesia. Pakar tafsir di sesatkan, pakar agama dikafirkan, pakar kesehatan diremehkan, pakar ekonomi dikesampingkan, sampai akhirnya yang didengar justru dari sumber-sumber yang ngga jelas.
Belajar agama dari orang ngga jelas kapasitas keagamannya. Orang yang tak punya agama malah dikasih panggung ceramah di tempat ibadah. Akhirnya yang dibicarakan apa? Karena bukan otoritasnya bidang agama, tentu dasarnya juga ngga jelas dan asumsi. Memahami ayat juga salah, ya karena memang bukan bidangnya kok dipaksa.
Seperti sekarang ini, semua orang bicara soal virus corona dari perspektif virusnya. Padahal bukan juga ahli virologi. Okelah, kalau pakar ekonomi bicara efek ekonominya dan strategi pemulihannya, pakar agama bicara bagaimana menghadapi pandemi dalam perspektif agamanya untuk menyadarkan masyarakat, kan jadi bagus. Semuanya berbicara sesuai kapasitasnya.
Ini ngga, orang yang ngga tahu soal virologi ngomong soal virus, yang ada bukan mencerahkan, tapi malah menyesatkan. Bukan memberikan informasi yang akurat tapi basisnya asumsi. Maka jangan heran kalau orang-orang Indonesia itu kagetan soal COVID. Mulai ramai jamu temulawak, hingga rebutan susu beruang. Apa yang viral di media, itu pula yang diikuti. Apakah orang-orang yang berebut susu beruang melihat AKG atau angka kecukupan gizi yang diinformasikan dibelakangnya? Padahal dengan susu lain kandungannya juga tak jauh beda.
Plis, kembalikan kepada pakarnya, kalau mau semuanya membaik, yang tak tahu menahu soal virus, tahan jarimu. Jangan bicara soal virus dengan basis asumsi, karena itu malah berpotensi akan melahirkan ‘virus’ baru yang bisa jadi lebih membahayakan. Apa itu? Virus ketidakpercayaan pada ahlinya.
Masalahnya memang kita ini sudah kehilangan masalah pakar. Karena ada media sosial, seolah semua bisa menjadi pakar. Kembalikan saja kepada pakar yang sebenarnya, jangan terlalu ‘rakus’ dengan kepakaran yang memang tak dikuasai. Jangan ngotot kalau memang tidak tahu. Lebih baik mendengar dari yang lebih tahu. Membaca informasi dari orang yang lebih menguasai.
Cuma ada satu masalah lain, selain hilangnya kepakaran, kita juga masih ribut soal politik. Kebijakan kesehatan juga jadi ‘sandera’ politik, kebijakan ekonominya juga dijadikan ‘sandera’ politik. Jadi di tengah sengkarut COVID ini, ada yang menikmatinya untuk kepentingan politik. Sementara rakyat kecil yang jadi korbannya.
Stop dulu urusan politik, urusan kemanusiaan lebih penting kali !
Oleh; Slamet Tuharie (Mahasiswa Sekolah Pascasarjana, Islamic Studies, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)