Meningkatkan Kompetensi Guru
Tantangan utama Mendikbud Nadiem Makarim adalah peningkatan kompetensi guru dalam jabatan dan calon guru masa depan. Perombakan dalam kurikulum, evaluasi hasil belajar, administrasi, dan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan, tak akan berarti jika guru dibiarkan dalam serba kelemahan seperti saat ini.
Berikut adalah sederet bukti kelemahan kompetensi guru dalam jabatan. Mulai dari kompetensi guru rendah menurut hasil Uji Kompetensi Guru (UKG), angka kelulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG), ketidaklulusan dalam tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), hasil riset guru bersertifikat, dan pendidikan belum S1. Meskipun sudah sarjana, mereka banyak yang belajar di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang tidak berkualitas.
Kompetensi Guru
Berdasarkan hasil UKG 2018, pencapaian rata-rata nasional baru 53,02 atau di bawah standar kompetensi minimal yang ditetapkan, yaitu 55,0. Hanya tujuh provinsi yang mencapai di atas standar nilai UKG yaitu Bali, Kep. Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta.
Pada tahun 2018, standar kelulusan PPG 8.0, banyak guru di Bengkulu tak lulus. Provinsi Bengkulu ada 139 guru tak lulus, dan khusus Kota Bengkulu ada sekitar 84 orang—sekedar menyebut contoh. Pada Februari 2019, pemerintah membuka lowongan PPPK tahap I sebanyak 75 ribu orang. Sayangnya, 25 ribuan guru tidak lulus.
Menurut hasil riset Murdadi dan Sulistari (2015), guru bersertifikat tidak menunjukkan kompetensi profesional yang bagus. Meskipun demikian, banyak juga riset menunjukkan korelasi positif antara sertifikasi dengan peningkatan kompetensi guru.
Kualitas guru juga bisa dilihat dari pendidikan mereka yang masih di bawah standar minimal yaitu S1. Misal, guru yang belum berpendidikan S1 di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, adalah 1.695 orang; di Kota Bandung sebanyak 3.600 guru.
Penyaringan Guru
Solusi atas masalah rendahnya kompetensi guru bisa dilakukan melalui penyaringan guru dalam jabatan dan calon guru masa depan. Pertama, pelaksanaan PPG yang kredibel. PPG dilakukan pemerintah di antaranya bagi guru dalam jabatan yang belum mendapatkan sertifikat pendidik.
Setelah melalui pembelajaran dan bimbingan daring, guru belajar secara tatap muka di kelas dengan dosen, praktik di sekolah mitra, ujian praktik, dan kemudian Ujian Pengetahuan (UP) secara daring. Di sinilah diketahui berapa guru yang lulus dan tidak lulus. Hanya saja, jika tidak lulus, guru diberi kesempatan untuk melakukan ujian daring tersebut hingga dua kali.
Sesungguhnya, hasil ujian PPG bisa dijadikan sebagai alat penyaringan guru yang kompeten dan tidak kompeten. Akan tetapi, guru yang tidak lulus masih bisa mengajar meskipun tak bersertifikat. Guru yang tidak lulus, selaiknya tidak lagi mengajar. Jika PNS, mereka memilih turun menjadi staf tata usaha atau mengajukan pensiun dini.
Kedua, mulai tahun 2020, kepala sekolah dan dinas pendidikan hanya menerima calon guru honorer dengan IPK minimal 3.00 dan berasal LPTK negeri atau swasta dengan akreditasi minimal B. Banyak guru dalam jabatan yang merupakan lulusan LPTK swasta yang tak bermutu proses pembelajaran dan penulisan karya ilmiahnya. Akibatnya, tak terlihat dampak kesarjanaan dalam pola pikir mereka.
Ketiga, rasionalisasi LPTK. Pemerintah meninjau ulang status LPTK swasta yang tidak terakreditasi B karena alasan berikut. Jumlah LPTK terlalu banyak sehingga surplus lulusan; kualitas LPTK sangat beragam sehingga kompetensi lulusan tidak terjamin; penerimaan mahasiswa kependidikan disesuaikan dengan kebutuhan jumlah guru; input bakal calon guru harus bagus, dan prosesnya juga harus bagus, sehingga menghasilkan calon guru yang bagus.
Misal, kelebihan lulusan LPTK sebanyak 200.000 setiap tahunnya. Jumlah LPTK di Indonesia sebanyak 421 yang terdiri dari LPTK negeri dan swasta. Dari jumlah tersebut, LPTK yang terakreditasi A hanya 18, sementara yang terakreditasi B sebanyak 81 LPTK. Sebelumnya, ada 422 LPTK penyelenggara PPG. Sekarang, izin hanya diberikan kepada 63 LPTK. Artinya, berdasarkan evaluasi Kemristekdikti hanya sedikit LPTK yang bermutu.
Standarisasi kurikulum LPTK yaitu empat tahun plus satu tahun. Empat tahun program sarjana dan satu tahun program sertifikasi guru. Pada empat tahun, mahasiswa belajar teori dan praktik, sedangkan pada satu tahun, mahasiswa 100 persen praktik di sekolah. Oleh karena itu, salah satu syarat LPTK adalah kepemilikan sekolah laboratorium atau bahkan asrama.
Input mahasiswa pendidikan harus menilai minat pada profesi guru disamping kompetensi akademik sesuai bidang guru seperti bahasa, agama, IPA, atau IPS. Ketepatan menyaring input yang berkualitas ini akan memudahkan jalan dosen dalam menghasilkan bakal calon guru yang profesional.
Melihat kondisi LPTK saat ini, hal itu seperti sangat berat, tetapi jika tidak dimulai, kapan lagi membenahi kualitas guru masa depan? Dengan demikian, ke depan, pada 2026 misalnya, pemerintah, kepala sekolah, dan dinas pendidikan bisa merekrut guru dengan syarat berikut: sarjana pendidikan dan memiliki sertifikat pendidik—sesuai UU Guru dan Dosen. Selama ini perekrutan guru melanggar UU Guru dan Dosen!
Inilah yang dimaksud standarisasi kualitas guru. Guru ASN dan non-ASN sama-sama berpendidikan S1 dan bersertifikat. Gaji mereka juga sama besarnya. Jika upaya itu dimulai tahun 2020, setidaknya ada yang kita nantikan di lima tahun ke depan. Masa di mana guru sudah sarjana, bersertifikat, kompeten, dan sejahtera. (foto/dok. https://mesbar.org/)
Oleh: Jejen Musfah, Dosen UIN Jakarta, Wasekjen PB PGRI