Ekoteologi Jadi Bahasan Utama Talkshow Ramadan: Merawat Alam Menjaga Iman
  • Humas
  • 17 Maret 2025
  • 44x Dilihat
  • Berita

Ekoteologi Jadi Bahasan Utama Talkshow Ramadan: Merawat Alam Menjaga Iman

Jakarta, 17 Maret 2025 – Konsep ekoteologi menjadi pembahasan utama dalam Talkshow Ramadan bertema “Merawat Alam, Menjaga Iman”, yang diselenggarakan oleh Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM), Balai Litbang Agama Jakarta, serta Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Acara ini menyoroti peran agama dalam menjaga keseimbangan ekosistem serta menghadapi tantangan krisis iklim global.

Gagasan ekoteologi muncul sebagai respons terhadap meningkatnya kerusakan lingkungan. Sekretaris BMBPSDM Kementerian Agama RI, Ahmad Zainul Hamdi, yang akrab disapa Prof. Inung, menjelaskan bahwa konsep ini awalnya terinspirasi oleh aktivis lingkungan yang prihatin terhadap kepunahan spesies akibat eksploitasi alam yang berlebihan.

“Kesadaran ini bermula dari perhatian para aktivis lingkungan terhadap punahnya berbagai spesies. Salah satu contohnya adalah hilangnya spesies merpati di Taman Nasional di Amerika Serikat, yang mengejutkan banyak pihak, seiring waktu semakin banyak spesies lain yang mengalami nasib serupa,” ungkap Prof. Inung.

Kesadaran ini kemudian menarik perhatian para pemuka agama yang mulai mempertanyakan peran agama dalam menghadapi krisis lingkungan. Menurut Prof. Inung, agama memiliki pengaruh besar dalam membentuk peradaban dan menggerakkan masyarakat, namun, sejarah juga mencatat bahwa agama kerap dikaitkan dengan konflik yang merusak lingkungan.

“Seiring meningkatnya kesadaran akan krisis lingkungan, muncul suara-suara yang menyerukan perbaikan. Di sisi lain, eksploitasi alam terus berlangsung. Hal ini membuat kita sadar bahwa agama harus berperan, tidak hanya dalam membangun peradaban, tetapi juga dalam mendorong perubahan sosial, termasuk dalam isu lingkungan,” tambahnya.

Sebagai langkah konkret, Kementerian Agama mulai memasukkan konsep ekoteologi dalam program moderasi beragama. Meski masih dalam tahap awal, program ini terus dikembangkan agar cakupannya lebih luas.

“Saya berharap pembahasan mengenai ekoteologi tidak hanya terbatas dalam lingkup Kementerian Agama. Kita bisa mendiskusikan isu lingkungan secara lebih luas, tanpa terjebak dalam birokrasi yang kaku. Namun, jika kita ingin menjadikannya program prioritas, tentu perlu perencanaan yang matang,” jelasnya.

Beberapa inisiatif yang tengah disiapkan Kementerian Agama antara lain penanaman sejuta pohon sebagai bagian dari gerakan penghijauan, pengembangan konsep Green Building di Kantor Urusan Agama (KUA), serta integrasi pendidikan lingkungan dalam kurikulum lembaga pendidikan. Program-program ini masih dalam tahap koordinasi lebih lanjut.

Talkshow ini juga menghadirkan Ketua Tanfidziyah PBNU, Alissa Wahid, yang membahas ekoteologi dalam konteks moderasi beragama, ia menegaskan bahwa menjaga kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab universal yang diakui oleh berbagai agama.

“Dalam Islam, manusia sebagai khalifah fil ard memiliki tugas memakmurkan bumi. Dalam Hindu, ada konsep Tri Hita Karana, yang menekankan harmoni dengan Tuhan, alam, dan sesama, sementara dalam agama Kristen, manusia dianggap sebagai citra Tuhan di bumi dengan tanggung jawab merawat kehidupan,” paparnya.

Konsep ini sejalan dengan prinsip moderasi beragama yang dikembangkan Kementerian Agama, yakni mengembalikan ajaran agama kepada esensinya: memanusiakan manusia dan membangun kehidupan yang berorientasi pada kemaslahatan bersama.

“Ketika berbicara tentang kemaslahatan bersama, kita juga harus mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Selama ini, mungkin kita hanya berpikir untuk kepentingan manusia, padahal alam juga memiliki haknya, pandemi kemarin membuktikan bahwa ketika aktivitas manusia berkurang, alam justru pulih. Ini menunjukkan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kebutuhan, tetapi juga bagian dari ajaran agama,” ungkapnya.

Gerakan ekoteologi tidak hanya menjadi isu nasional, tetapi juga bagian dari gerakan global. PBB melalui program Faith for Earth mengajak komunitas agama untuk berkontribusi dalam perlindungan lingkungan, negara-negara seperti Jepang dan Italia telah lebih dulu merasakan dampak nyata dari perubahan iklim dan menerapkan kebijakan lingkungan yang lebih ketat.

Alissa Wahid menegaskan bahwa perubahan harus terjadi di berbagai tingkatan, mulai dari individu hingga kebijakan publik. “Perubahan tidak bisa hanya bersifat individual, kita membutuhkan kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan, diharapkan ekoteologi dapat menjadi bagian dari gerakan yang lebih luas demi masa depan yang berkelanjutan. “Merawat alam bukan sekadar kebutuhan, tetapi juga bagian dari keimanan kita,” ungkapnya.

Senada dengan hal tersebut, Kepala Balai Litbang Agama Jakarta, Irhason, juga menegaskan bahwa pendekatan multidisiplin sangat diperlukan dalam memahami dan menerapkan ekoteologi. Menurutnya, isu lingkungan sangat kompleks dan memerlukan kolaborasi antara berbagai bidang ilmu, termasuk agama, sains, dan kebijakan publik.

Kegiatan ini menarik antusiasme dari berbagai kalangan dengan kehadiran lebih dari 700 peserta yang terdiri dari penyuluh, pendidik, mahasiswa, professional, dan masyarakat.