Mengapa Agama Memiliki Kekuatan Mengubah?
  • 16 Maret 2020
  • 3165x Dilihat
  • Opini

Mengapa Agama Memiliki Kekuatan Mengubah?

Menurut William James, seorang filsuf Amerika, dalam bukunya The Varieties of Religious Experience, baik psikologi dan Agama saling berkaitan. Dia berpadapat bahwa seseorang bisa diubah oleh kekuatan yang melampaui kesadaran normal mereka. Jika psikologi mendefinisikan kekuatan ini sebagai kekuatan “bawah sadar”, yaitu kekuatan yang memang ada dalam diri orang tersebut dalam Agama. Sedangkan penyelamatan datang dari luar diri orang tersebut adalah sebuah rahmat dari Tuhan.

Bagi kerangka pikir rasional atau ilmiah, orang yang “dilahirkan kembali” atau mengalami perubahan keyakinan mungkin tampak tidak stabil, bahkan gila. Perubahan ini mungkin saja terjadi tiba-tiba, James menjelaskan, tetapi tidak lantas bersifat patologis. Bagi mereka yang melihat, ini mungkin tampak seperti menambahkan pandangan suci pada kehidupan seseorang. Tetapi bagi orang yang mengalaminya, ini merupakan transformasi total. Tiba-tiba saja, orang lain itulah yang berada dalam kegelapan.

James menawarkan gagasan bahwa agama tidak harus berupa pemujaan kepada Tuhan. Agama bisa saja hanya berupa keyakinan tentang adanya kuasa yang tak terlihat, dan tugas kita adalah menyesuaikan diri kita agar selaras dengannya. James menulis, “Agama apapun, adalah reaksi total manusia atas kehidupan adalah agama”. Jika merujuk pada pendapat ini, ateisme bisa juga disebut agama. Semangat yang digunakan oleh para penganut paham ateisme untuk menyerang agama Kristen pada dasarnya bersifat religius.

Demikian juga, pandangan hidup yang dirangkum dalam frasa “siapa peduli?” bagi sebagian orang adalah agama. Pertimbangkan juga filosofi spiritual kaum transendentalis, meyakini sebuah hukum yang tak terlihat dan tak pernah salah yang mengatur dunia. Orang menganut suatu agama karena alasan yang sifatnya pribadi, tegasnya, oleh karena itu agama harus memenuhi kebutuhan mereka dalam sejumlah cara. Ia mengutip kata-kata J. H. Leuba, seorang psikolog agama, “Tuhan itu tidak dikenal, ia tidak dipahami; ia dimanfaatkan”.

Meskipun demikian, sikap seseorang yang religius biasanya diasosiasikan dengan kesediaan untuk meninggalkan kepentingan diri mereka demi sesuatu yang lebih besar, misalnya Tuhan atau Negara. Pengingkaran diri inilah yang membuat impuls religius berbeda dengan semua jenis kebahagiaan lainnya, dan sangat memuaskan. Suatu perasaan religius bisa dibedakan dari perasaan lainnya, karena perasaan religius melambungkan diri orang yang merasakannya. Memberi mereka perasaan bahwa mereka hidup sesuai dengan kekuatan, hukum, atau rancangan yang lebih besar.

Menurut James, agama eksis untuk memberikan solusi atas kecemasan abadi manusia, atau atas perasaan kita bahwa ada sesuatu yang salah. Agama membuat orang bisa melihat bagian diri mereka yang lebih tinggi sebagai diri mereka yang lebih rendah.

Kita semua ingin terhubung dengan sesuatu yang “lebih”, baik sesuatu yang besar yang ada dalam diri kita maupun kekuatan eksternal yang lebih tinggi, dan agama menyediakan suatu kerangka bagi kita untuk mengalami hal-hal yang lebih baik yang berasal dari menjalani hidup dengan iman dan tidak diam dalam keadaan cemas.“Bukan Tuhan,” James menyatakan, “melainkan kehidupan, kehidupan yang lebih bergairah, kehidupan yang lebih besar, lebih kaya, dan lebih memuasakan, yang pada akhirnya menjadi tujuan agama.”

Dalam The Varieties of Religions Experience disebutkan tentang seorang pria yang berhasil menyelamatkan dirinya dari kegilaan karena melabuhkan pikirannya dalam kalimat besar dari kitab suci. Kemungkinan besar orang yang disebut-sebut sebagai seorang “koresponden Prancis” adalah James sendiri.

Kesimpulan James, suatu tingkatan iman bisa mengubah kehidupan secara total, meski yang diimaninya itu tidak bisa dilihat dengan mata dan mungkin tidak eksis. Agama bisa benar-benar menyembuhkan seseorang, menyatukan apa yang tadinya tercerai-berai. Bagi James, yang berkali-kali merasa depresi dan merasa asing selama bertahun-tahun, hal ini saja sudah bisa dijadikan alasan terselenggaranya aktivitas religius. Meski ia mengaku dirinya masih jauh dari kemajuan spiritual, jelas baginya bahwa keyakinan tentang adanya sesuatu yang tak terlihat telah membangkitkan kekuatan individualitas dan tekad dalam diri banyak orang.

James tahu bahwa ilmu pengetahuan akan selamanya berusaha menyingkirkan kabut yang tidak jelas dari agama, tetapi melakukan hal itu justru membuat ilmu pengetahuan tidak bisa mencapai maksudnya. Ilmu pengetahuan hanya bisa berbicara secara teoritis, tetapi pengalaman spiritual personal menjadi lebih kuat justru karena sifatnya yang subjektif. Spiritualitas adalah tentang emosi dan imajinasi serta jiwa dan bagi manusia, semua itu adalah segalanya. (foto: istimewa)

 

Refensi:

  1. William James, The Varieties of Religions Experience. New York: Dolphin Doubleday. 1898. Hal 213.
  2. Dalam KBBI offline, pa·to·lo·gis a 1 berkenaan dengan ilmu tentang penyakit; 2 dalam keadaan sakit; abnormal. Dalam konteks ini penulis lebih memilih diartikan sebagai abnormal.
  3. J. Krishnamurti, Think On These Thing, New York: Harper. 1970. Hal 161.

 

Oleh: Mehdi Kaff, Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Jakarta