Leuit, Simbol keberkahaan dan kesejahteraan Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang
  • 10 Maret 2020
  • 1464x Dilihat
  • Berita

Leuit, Simbol keberkahaan dan kesejahteraan Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang

BLAJ - Salah satu riset Bidang Pendidikan, Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) di 2020 bertema Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Masyarakat Khusus. Tujuan penelitian ini diantaranya untuk mengetahui gambaran tradisi/ budaya, nilai dan norma masyarakat adat, mengetahui sejauh mana Pendidikan di masyarakat adat, serta mengetahui  peran   pemerintah   dalam   melakukan   pemerataan   kualitas pendidikan agama dan keagamaan pada masyarakat adat. Salah satu lokasi yang menjadi fokus penelitian adalah Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang.

Dipilihnya desa yang berjarak 150 kilometer dari Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten ini karena masyarakat Kasepuhan Cisungsang masih menjaga tradisi adat lelulur. Salah satu upacara adat yang masih terjaga hingga saat ini adalah Seren Taun. Prosesi  yang sudah dijalankan selama 700 tahun lebih ini dilakukan setiap tahun setelah masa panen padi dan sebagai ritual puncaknya musim bertani.

Padi atau pare bagi masyarakat Kasepuhan Cisungsang merupakan tanaman yang dihormati (dalam bahasa masyarakat Cisungsang disebut dipusti), karena merupakan simbol keberkahan dan kesejahteraan. Bahkan para leluhur mengajarkannya untuk menghormati (padi) seperti anak, istri, atau keluarga. Mereka meyakini keberkahan diturunkan dari Tuhan lewat padi sebagai kebutuhan pokok sehari-hari.  Meyakini hal tersebut, setiap keluarga diwajibkan memiliki leuit (lumbung padi) untuk menyimpan hasil panen padi. Masyarakat Cisungsang pun dilarangan menjual padinya.

Bangunan leuit berbentuk rumah panggung, berbahan lempengan kayu segi empat. Sementara, atapnya meruncing ke atas membentuk segi tiga. Tidak ada ketentuan pasti untuk ukuran leuit, luasnya disesuaikan dengan kebutuhan. Biasanya, leuit akan berjajar di halaman samping, belakang, atau depan rumah warga setempat. Tak jarang, leuit dibangun di sebelah pematang sawah.

Peneliti BLAJ Abdul Basid dan Ismail Lating saat melakukan penelitian di Desa Cisungsang melakukan wawancara ringan dengan Emak, istri Abah Usep Suyatna, Ketua Adat Kasepuhan Cisungsang dan Ewang, Kokolot Lembur  Desa Cisungsang seputar bagaimana cara menyimpang padi di leuit dan khasiat nasi dari beras yang tersimpan di leuit.

Menurut Emak, nasi yang dimakannya berasal dari beras yang diselip atau ditumbuk dari padi yang tersimpan hingga dua tahun atau lebih di leuit. Bahkan Emak mengatakan ada padi yang tersimpan hingga 25 tahun.

“Semakin lama padi tersimpan, maka semakin berkurang kadar gula dalam nasi dari padi tersebut. Nasi ini sangat bermanfaat bagi para penderita diabetes.  Padi di sini hanya boleh untuk konsumsi saja, jadi kami tidak boleh menjual. Makanya kalau ada yang datang, kami wajib menyuguhkan makanan. Jangan sampai datang ke sini terus pulang ada bahasa lapar,” tutur Emak.

Tentang leuit, Ewang  menceritakan untuk menyimpan padi hingga waktu  sangat lama perlu membuat konstruksi leuit yang baik. Leuit dibuat serapat mungkin, alas palupuh dilapisi daun takalar dan di empat sudutnya dipasang daun hanjuang. Setelah leuit dibuat dengan baik, selanjutnya dengan wasilah para leluhur mereka memohon agar leuit dijaga dari hama serta mendapat keberkahan.  Dalam masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang terdapat tiga leuit, yaitu leuit keluarga, leuit leuit desa dan leuit adat.

Masyarakat meyakini bahwa Kasepuhan Cisungsang merupakan peninggalan Ki Walangsungsang. Salah satu penandanya adalah Gunung Walang dan Sungai Cisungsang  di sekitar Desa Cisungsang. Kata “Cisungsang” sendiri berasal dari bahasa sunda, yaitu kata Cai (air) dan Sungsang (terbalik). Konon, Sungai Cisungsang akan berhenti dan berbalik arah selama beberapa detik pada pertengahan Bulan Mulud di setiap tahunnya, Allahu a’lam. (teks/foto: Abdul basid, Ismail Lating)