Belajar Hidup Nyaman dan Damai Di Kampung Adat Ciptagelar, Kawasan Pegunungan Halimun
BLAJ - "Ibu, benar mau ke Ciptagelar?" tanya suami teman (Y) yang sudah “ada ikatan” dengan Ciptagelar dan seakan tidak percaya ketika saya mengutarakan niat perjalanan saya."Iya, Bapak. sebagaimana yang sudah saya sampaikan R (isteri Bapak), bahwa saya ada tugas mau melakukan penelitiaan/kajian tentang masyarakat adat Ciptagelar”, saya jawab dengan yakin. "Ya sudah, pokoknya hati-hati saja, dan siap untuk menata hati dan mengikuti tradisi yang berlaku dalam kehidupan mereka. Dan sebaiknya menggunakan mobil 4WD (wheels drive), mengingat kondisi jalan atau medan yang sangat ekstrim, jalan menanjak gunung berkelok-kelok dan tanah kadang becek, pokoknya menantang banget, siap-siap saja ya bu!"
Obrolan dengan Y terus berlanjut, dan beliau kemudian mencoba mengontak temannya D, yang tinggal di Sukabumi dan sebagai “rakyat” Ciptagelar (pengikut Abah Anom, Pemimpin Kasepuhan Ciptagelar). Siang itu juga D langsung SMS ke saya menanyakan kapan berangkat ke Cipategelar Sukabumi”. Malamnya langsung saya telp dan janjian besuknya kami ketemu di sekitar Pelabuhan Ratu. Beliau juga berpesan sebaiknya menggunakan mobil 4 WD.
Pagi (Senin, 10 Februari 2020, jam 9.00) saya diantar suami berangkat ke Sukabumi dengan menggunakan mobil Toyota Rush, karena menurut beberapa teman dengan mobil tersebut sudah sangat memadai untuk perjalanan menuju pegunungan Halimun, di mana kampung adat Ciptagelar berada. Kondisi pegunungan Halimun yang berbukit-bukit membuat lokasi Ciptagelar sulit ditembus, terutama saat musim hujan. Akses ke kasepuhan itu berupa jalan tanah berbatu. Jika terpaksa memakai kendaraan pribadi, mesti punya persyaratan khusus: bodi mobil cukup tinggi, juga mesin dalam kondisi prima. Pasalnya, pengendara akan menghadapi tanjakan dengan kemiringan hingga 80 derajat.
Foto: Ketika mobil berpapasan dalam kondisi jalan menanjak, terjal dan sempit, membuat kami harus bekerja keras untuk mengusahakan mobil bisa melewati dengan selamat
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga setengah jam, sampailah kami di kantor Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi. Tidak lama bertemu dengan Pak Marpaung Kepala Seksi Kepegawaian, sekitar jam 12.30 langsung berangkat menuju Gunung Halimun. Sampai Karang Hawu (letaknya setelah Pelabuhan Ratu) tempat kami janjian dengan D warga Ciptagelar sebagai petunjuk jalan “guide”. Tiba di Pantai Karang Hawu sekitar pukul 15.00, beristirahat sejenak menikmati udara segar dan indahnya pantai, kemudia melanjutkan perjalanan menuju kampung Ciptagelar.
Walaupun sudah mendapatkan sedikit gambaran tentang kondisi jalan akses menuju Ciptagelar yang berada di kaki Gunung Halimun yang begitu ekstrim, namun sejatinya tidak pernah terpikir dan terbayang akan sulitnya medan yang harus dilalui, pikir saya jalannya pastinya tidak jauh beda dengan jalan menuju pantai Ujung Genteng, Sukabumi (penelitian tahun 2017). Setelah menyusuri jalan tanjakan naik gunung yang berkelok-kelok, barulah menyadari ternyata jalannya sangat ekstrim, banyak bebatuan, aspal sudah mulai rusak dan penuh tantangan.
Perjalanan dari Karang ahawu ke Kasepuhan Ciptagelar memakan waktu sekitar 3 (tiga) jam melewati kondisi jalan yang kurang baik karena bersamaan hujan gerimis yang sempat menyapa, dan hal ini membuat pengemudi mobil menjadi super hati-hati dan waspada. Akses jalan yang betul-betul terjal, terdiri dari batu-batu alam besar dan tanah liat coklat basah oleh air hujan memang agak menyulitkan mobil untuk bergerak cepat. Seperti yang sudah diwanti-wanti, kondisi jalan menanjak kesana membuat saya tak berhenti berdzikir mengingat kematian, bagaimana tidak kondisi jalan yang tak mulus memaksa mobil berada hanya 1–2 cm dari bibir jurang!
Sore sekitar jam 17.00, tibalah kami di kampung Ciptagelar, langsung menuju dusun Situmurni tepatnya di rumah Ki Omon (salah satu pengasuh/sesepuh) masyarakat adat Ciptagelar. Kami diterima dengan sangat baik dan penuh kekeluargaan oleh keluarga Ki Omon, dan kamipun menginap di rumah Ki Omon.
Sangat mengharukan, mereka sangat ramah dan terbuka menerima kami layaknya kerabat dekat yang sudah lama tidak ketemu. Kami betul-betul dijamu layaknya saudara sendiri, bukan hanya diajak berdiskusi di depan perapian hangat dengan segelas kopi dan jajanan ringan, tapi juga disediakan kamar untuk menginap selama di sana! Selain suasana kekeluargaan yang dihadirkan oleh pihak kasepuhan, hal yang membuat saya kagum adalah tata krama masyarakat disini. Dengan tingkat pendapatan yang tidak setinggi masyarakat kota, justru tingkat keamanan sangat tinggi dan dan tidak ada kekhawatiran terhadap kriminalitas sedikitpun. Benar-benar surprise..!
Foto: Ki Omon, Kokolot Lembur (pengasuh) dusun Situmurni, Kasepuhan Ciptagelar
Masyarakat di sini bisa hidup begitu nyaman dan damai, begitu pengakuan dari beberapa tokoh adat termasuk ketua adat (sesepuh) yang disebut Abah Anom. Begitu juga jika dilihat secara kasat mata, hidup mereka sangatlah sederhana dan bersahaja. Menurutnya, kunci hidup nyaman dan damai adalah selalu berpegang teguh pada adat, yaitu bersahabat dengan lingkungan (alam) sebagai ladang kehidupan. Keseimbangan alam yang meliputi hutan, tanah dan air harus terus dijaga. Masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar percaya manusia bertugas untuk menjaga dan memelihara keseimbangan alam, karena keteraturan dan keseimbangan alam semesta merupakan sesuatu yang mutlak. Adanya malapetaka atau bencana adalah akibat keseimbangan dan keteraturan alam yang terganggu.
Salah satu cara menjaga keseimbangan alam, dalam mengolah tanah sebagai ladang kehidupan dilakukan dengan secara tradisional tanpa campur tangan kemajuan teknologi, seperti: mesin traktor untuk membajak sawah, pupuk kimia atau pestisida dan gilingan padi. Di samping itu, menanam padi hanya boleh setahun sekali diselingi dengan menanam sayuran secara serentak dengan melihat tanda-tanda astronomi, agar unsur hara didalam tanah tidak rusak dan kembali netral. Sebagaimana pepatah bijak dari para karuhun, yaitu “ibu bumi, bapa langit dan tanah ratu”. Artinya, bumi menyediakan segala kebutuhan untuk manusia. langit yang memberi kenyamanan (naungan, hujan) dan tanah merupakan pemberian Allah yang diturunkan leluhur. Dengan peribahasa ini masyarakat dituntut untuk selalu mengingat bahwa Tuhan telah memberikan sumberdaya dan masyarakat perlu melestarikan agar tercapai keberlanjutan.
Perlu dicatat, padi yang mereka tanam dilarang untuk dijual sehingga mereka hanya mengandalkan hasil berkebun, beternak, berdagang, dan mata pencaharian lain. Selain itu, setiap panen semua kepala keluarga wajib menyetor hasil panen padi kepada pemimpin adat yaitu Abah Anom sebanyak 10%, dan untuk keperluan kegiatan sosial antara 20–30% disimpan di masing-masing dusun. Mereka percaya apa yang mereka lakukan itulah yang akan mereka tuai dari lumbung padi mereka. Disini, warga percaya bahwa padi adalah sumber kehidupan karena makanan pokok mereka berasal dari padi.
Foto: Abah Ugi Sugriana atau “Abah Anom”, Pemimpin Kampung Adat Ciptagelar
Dengan system pengolahan tanah dalam bercocok tanam padi serta adat yang melarang memperjualbelikan hasil panen padi keluar wilayah kasepuhan, membuat Kasepuhan Ciptagelar mampu berswasembada pangan hingga beberapa tahun kedepan.
Katakanlah setiap tahun mereka hanya panen 12 ikat besar dengan hitungan satu ikat habis untuk satu bulan bagi satu keluarga dan juga tamu atau pengunjung yang mampir dan menginap di kasepuhan. Kalau dihitung secara matematika, tentu di penghujung tahun mereka akan kehabisan padi yang mereka punyai, namun hal itu ternyata tidak berlaku. Justru ketika semakin banyak tamu yang mereka jamu, beras yang mereka miliki tidak kunjung habis hingga akhir tahun. Mendengar cerita tersebut, sayapun yakin akan ungkapan bahwa rejeki tidak pernah tertukar dan selalu ada saja ketika kita banyak memberi. Namun demikian, meski masyarakat memegang teguh dan menjaga adat istiadat para leluhur secara ketat, mereka bisa menerima kemajuan teknologi tetapi sebatas sebagai tatanan di lingkungan masyarakat.
Hal lain yang mengagumkan terhadap nilai-nilai dan budaya yang dianut oleh Kasepuhan Ciptagelar adalah bagaimana mereka memperlakukan sesama. Masyarakat adat di sini terkenal akan keluhuran budi dan tata kramanya. Mereka sendiri mengaku meski berbeda-beda keyakinan/kepercayaan/agama, fondasi ketuhanan tersebut mereka jadikan ageman atau arti harfiahnya adalah pakaian.
Pakaian sejatinya dimaknai sebagai pelindung tubuh, cerminan diri ini harusnya direfleksikan secara nyata dalam perilaku mereka sehari-hari. Tidak hanya memaknai agama secara nyata, warga kasepuhan juga menjiwai makna 'kasepuhan' itu sendiri. Apa artinya? Kasepuhan yang diambil dari kata dasar 'sepuh' atau 'orangtua', dicitrakan sebagai orang yang sudah banyak menimba asam garam kehidupan, tentu memiliki pikiran dan wawasan yang luas, karena sudut pandang inilah mereka ketika dihadapkan pada suatu masalah cenderung tidak emosional, bersikap arif, dan selalu berjiwa pamong (mengasuh).
Dengan kombinasi aspek-aspek tadi, tak salah rasanya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat hidup damai dan tentram walaupun berada di kawasan Gunung Halimun, Kabupaten Sukabumi.
Di tengah gemuruh jeritan sebagian masyarakat di bumi pertiwi akibat kondisi alam yang sering tidak bersahabat dengan manusia ditambah perkembangan teknologi yang mengubah kehidupan, berkunjung ke Kasepuhan Ciptagelar memberikan pencerahan bahwa hidup harus bersahabat dengan alam sebagai ladang kehidupan dan selalu berpegang teguh pada adat. Manusia bertugas untuk menjaga dan memelihara keseimbangan alam, sehingga alampun akan menjaga manusia. (foto/teks: Sumarsih Anwar)