Belajar Dari Nilai-nilai Keluhuran Masyarakat Adat Kampung Pulo di Garut
  • 18 Februari 2020
  • 1902x Dilihat
  • Berita

Belajar Dari Nilai-nilai Keluhuran Masyarakat Adat Kampung Pulo di Garut

BLAJ - Selain dikenal sebagai kota dodol dan pusatnya kerajinan berbahan kulit dari domba dan sapi, Garut juga menyimpan  potensi wisata alam yang menarik. Panorama alam Garut yang berkontur dataran tinggi dan pantai, serta punya puluhan spot indah  bisa dinikmati sebagai tempat refreshing saat liburan. Tak heran bila  aktor Hollywood Charlie Chaplin menjuluki Garut sebagai Swiss van Java.

Selain menikmati wisata alam, ada juga wisata budaya  di Garut. Salah satunya Kampung Pulo, di Kecamatan Leles, sekitar 14 km dari Kota Garut dan Kampung Dukuh di Kecamatan Cukelet, sekitar 105 km dari Kota Garut. Pada saat penjajakan penelitian awal Februari 2020 lalu, peneliti Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) Juju Saepudin, berkesempatan mengunjungi Kampung Pulo.  

Letak Kampung Pulo berada di perbatasan antara Kota Bandung dan Kota Garut. Bila menggunakan kendaraan umum dari Jakarta, kita bisa menggunakan Bus Primajasa jurusan Garut hingga alun-alun Kecamatan Leles. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan angkutan pedesaan, ojeg sepeda motor, atau delman ke arah Kampung Ciakar Desa Cangkuang yang berjarak sekitar 3 km. Setelah itu, Kampung Pulo dapat diraih via rakit melalui situ atau Danau Cangkuang.

Berkunjung ke kampung ini tak hanya sekedar wisata alam pada umumnya, namun bisa menjadi sarana pembelajaran dan mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat Jawa Barat dengan lebih luas. Nilai-nilai keluhuran adat yang masih dipegang warga Kampung Pulo menjadi daya tarik tersendiri yang harus dilestarikan dan dihormati.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

foto: Perjalanan penulis menuju Kampung Pulo dengan menggunakan rakit.

Kampung Pulo berada di Pulau Panjang, sebuah pulau kecil di tengah Situ Cangkuang. Di pulau ini juga terdapat Candi Cangkuang,  candi Hindu yang dibangun pada abad ke-8. Menurut  Bapak Zaki dari Dinas Pariwisata, dan Bapak Umar sebagai wakil ketua adat Kampung Pulo, awalnya masyarakat di kampung ini menganut agama Hindu sampai kedatangan Mbah Dalem Arif Muhammad. Ia yang menolak untuk kembali ke Mataram setelah kekalahannya dalam melawan Belanda kemudian menyebarkan agam Islam di lingkungan masyarakat Kampung Pulo. Pengaruh Islam yang kuat telah membuat seluruh warga Kampung Pulo pindah memeluk agama Islam,  meski tidak melepaskan beberapa ritual agama Hindu terdahulu.

Uniknnya di Kampung Pulo  hanya ada tujuh bangunan. Yaitu  enam rumah (dihuni  enam kepala keluarga  keturunan Mbah Dalem Arief Muhammad) dan satu masjid. Ke-enam rumah ini merupakan rumah adat dengan bentuk rumah panggung, tiga buah rumah di sisi sebelah kiri dan tiga lainnya di sebelah kanan. Rumah-rumah ini dibangun Embah Dalem Arief Muhammad untuk enam anak perempuannya. Sedangkan masjid merupakan simbol untuk anak laki-lakinya yang sudah meninggal. Berbeda dengan budaya Sunda lainnya, di Kampung Pulo, warisan -pemilik- rumah jatuh pada anak perempuan.

Keturunan Embah Dalem Arief Muhammad diperbolehkan untuk menikah dengan penduduk Kampung Pulo ataupun penduduk luar. Setelah menikah, mereka diharuskan untuk keluar kampung. Bila ada keluarga yang meninggal dunia, barulah keluarga lain bisa menempati rumah di Kampung Pulo dengan diadakan musyawarah terlebih dulu.

Beberapa pantangan dan “pamali” masih dianut oleh masyarakat sekitar sampai sekarang antara lain: larangan berziarah pada hari rabu, larangan atap rumah berbentuk jure’ (prisma), larangan mengubah tatanan dan jumlah rumah, larangan memukul gong besar, dan larangan memelihara hewan berkaki empat. Sedangkan aktivitas keagamaan masyarakat Kampung Adat Pulo hampir sama dengan masyarakat adat lainnya, yaitu memiliki upacara-upacara adat seperti: tujuh bulanan dan ngalahirkeun, marhabaan, upacara kematian, upacara pertanian, dan memandikan benda pusaka. (teks/foto: Juju Saepudin)