Belajar Berbangsa Dari Naskas-naskah Kuno
BLAJ-Nilai-nilai kebangsaan, seperti saling menghormati dan hidup rukun dalam bermasyarakat sudah diajarkan sejak dulu oleh nenek moyang kita. Seperti yang tertulis dalam naskah kuno beraksara sunda kuno, Amanat Galunggung. Filolog dari Universitas Indonesia (UI), Munawar Holil atau biasa disapa Kang Mumu, mengatakan meski naskah Amanat Galunggung hanya terdiri dari tujuh lembar, namun kandungan naskah ini sangat penting, terutama nilai-nilai yang mengajarkan kebangsaan.
“Ada beberapa kalimat yang berkolerasi dengan nilai-nilai kebangsaan. Misalnya mulah padwang pasalahan paksa, mulah pakeudeukeudeu, asing ra(m)pes, cara purih, turutaan mulah keudeudi tineung di maneh, isoiseukeun carekna patikrama. Artinya, jangan bentrok (karena) berselisih maksud, jangan saling berkeras: hendaknya rukun (dalam) tingkah laku (dan) tujuan. Ikuti jangan (hanya) berkeras pada keinginan diri sendiri,” ujar Kang Mumu saat menjadi narasumber "Seminar Manuskrip Keagamaan dan Nilai Kebangsaan" yang diinisiasi Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) di Bogor, Senin (14/9).
Kang Mumu, yang juga ketua Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) menambahkan satu nilai kebangsaan yang penting dalam naskah Amanat Galunggung adalah kewajiban membela tanah air sekuat tenaga. Seperti petikan kalimat “muliyana kulit di jaryan madan na rajaputra, antukna boning ku sakalaih”, yang berarti lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah dari pada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain.
Sedangkan akademisi Universitas Padjajaran Titin Nurhayati Ma’mun, yang juga menjadi narasumber kegiatan ini mengatakan nilai-nilai kebangsaan juga terdapat dalam naskah berbahasa sunda Cempakadilaga, karya cendikia dan ulama dari Purwakarta, KH Tubagus Ahmad Bakri atau dikenal dengan panggilan Mama Sempur.
“Naskah tulisan tangan Mama Sempur ini rampung ditulis pada 1959, kemudian dicetak dan diterbitkan pada 1962. Naskah ini hadir sebagai respon terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia, terutama pada akhir dekade 1950-1960. Dimana pada masa itu Indonesia mengalami keterpurukan dalam berbagai segi kehidupan. Pada intinya naskah ini mengajak umat untuk tidak berputus asa meski tengah didera berbagai kesulitan,” ujar Titin yang juga ketua Manassa Jawa Barat.
Titin menambahkan, naskah Cempakadilaga juga mengajarkan bagaimana berkehidupan yang baik, seperti pentingnya bercocok tanam, menghindarkan diri dari menjalankan usaha yang haram, kewajiban menjaga hubungan baik antar manusia, kewajiban berbakti pada pemerintah, dan mencegah kemudaratan.
Kegiatan yang dilakukan selama dua hari ini dibuka Kepala Balai Litbang Agama Jakarta Nurudin dan diikuti sekitar 30 peserta yang terdiri akademisi, pemerhati naskah kuno, peneliti dan pegawai dilingkungan BLAJ. Hadir sebagai narasumber Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat Jumari, Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Munawar Holil, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ahmad Ginanjar Sya’ban, Dosen Universitas Islam al-Ihya Cigugur Kuningan Dedi Slamet Riyadi, Dosen Universitas Padjajaran Bandung Titin Nurhayati Ma'mun, dan Ahmad Baso dari Lakpesdam NU. Acara ini juga diikuti para penyuluh dari sejumlah provinsi secara daring. Protokol kesehatan dilakukan secara ketat dalam kegiatan seminar ini.
Dalam kesempatan ini juga dilakukan penandatangan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) kerjasama penelitian antara Balai Litbang Agama Jakarta dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat. Nota Kesepahaman ini ditandatangi oleh Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat Jumari dan Kepala Balai Litbang Agama Jakarta Nurudin.
(teks: Aris W Nuraharjo/foto: Heri Setiawan)