Tantangan Penegerian Raudhatul Athfal
BLAJ - Raudhatul Athfal (RA) di bawah Kementerian Agama hingga saat ini belum ada satupun yang berstatus negeri. Sedangkan TK (Taman Kanak-Kanak) dengan status negeri di Indonesia sudah 3.207 lembaga (Data Kemdikbud, Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, tahun 2017). Padahal kecenderungan RA setiap tahunnya bertambah. Hal ini disampaikan Ibnu Salman, Peneliti Balai Litbang Agama Jakarta, dalam Seminar Pembahasan Penyusunan Naskah Akademik Penegerian Raudhatul Athfal di Jakarta, pertengahan April 2019 lalu.
Menurut Salman, mekanisme pendirian RA sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Agama No 14 Tahun 2014 tentang Pendirian Madrasah dan Penegerian. Seluruh syarat untuk penegerian sangat ringan, kecuali dipersyaratkan luas tanah 1000 meter persegi.
“Ini menjadi kendala, terutama untuk mencari lahan di kota-kota besar. Syarat jumlah siswa hanya 54 siswa harus bersekolah di RA yang luasnya 1000 meter persegi ini kurang efektif. Jadi perlu ada sedikit revisi di PMA No 14,” ujar Salman saat memaparkan hasil penelitian di depan 70 peserta seminar di Hotel Grand Cemara, pada 16 April lalu.
Salman menambahkan, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pendirian RA adalah manajeman pengelolaan RA, kurikulum, dan kualitas tenaga pendidik, dan kependidikan. Guru RA memang sudah ada yang PNS (Pegawai Negeri Sipil), tapi SATMINKAL (Sistem Administrasi Pangkalan) masih di RA swasta.
Sedangkan Nurhattati Fuad dari Universitas Negeri Jakarta, menyoroti tentang realitas RA dan sebaran RA di Indonesia. Sistem pembinaan merupakan salah satu faktor penting. Jadi perlu dibuat beberapa RA Negeri sebagai RA Pembina.
“Sekolah RA ini nantinya menjadi prototipe sebagai rujukan standar untuk RA yang akan dinegerikan. Kemudian setelah itu diadakan monitoring terhadap prototipe RA tersebut. Dari sini kita bisa merumuskan dan menyeragamkan kurikulum dan sistem pendidikan RA,” kata Nurhattati Fuad
Nurhattati Fuad juga mengatakan saat ini RA merupakan milik yayasan, sehingga standarnya masih berbeda-beda. Padahal RA punya perbedaan mendasar dengan TK, yaitu pendidikan prasekolah yang berciri khas agama Islam. Ciri khas ini lah yang membuat RA bertambah pesat.
“Bila dilihat dari aspek pembiayaan saya yakin jika yayasan sudah bagus, berarti yayasan sudah melakukan tata kelola pembiayaan yang baik. Namun, perlu juga ditanyakan apakah RA di bawah yayasan yang tergolong mampu siap untuk dinegerikan? Karena bila dinegerikan otomatis semua aset akan dihibahkan ke negara,” lanjut Nurhattati.
Siti Khadijah, Ketua Prodi PIAUD UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan bahwa alasan penegerian RA harus betul-betul jelas. Karena jika berbicara tentang penegerian, minimal ada tiga instansi yang ikut terlibat, yaitu; Kemenag, Kemenpan, dan Kemenkeu.
“Perlu juga dilakukan riset publik tentang indeks mutu RA. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap penegerian RA ini? Akseptabilitas masyarakat terhadap RA negeri seperti apa?Partisipasi masyarakat dalam proses penegerian itu seperti apa? Bila semua terjawab, kita akan lebih punya alasan kuat untuk segera melakukan penegerian RA,” tutur Siti Khadijah.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Subbagian Tata Usaha Balai Litbang Agama Jakarta, Hery Susanto mengatakan penelitian tentang Raudhatul Athfal oleh BLAJ sudah dilakukan sejak 2014. Sedangkan pembahasan Seminar Pembahasan Penyusunan Naskah Akademik Penegerian Raudhatul Athfal ini sendiri dilakukan dalam tiga tahap. Harapannya naskah akademik hasil penelitian ini bisa digunakan untuk mendampingi perubahan regulasi, dalam hal ini PMA tentang penegerian RA dan Madrasah.
“Kami berharap BLAJ bisa berkontribusi dalam dua hal, yaitu bisa mengkritisi dan memberikan masukan pada pembuat kebijakan. Naskah akademik ini juga merupakan alat bantu bagi Dirjen Pendidikan Islam dalam melahirkan Juknis,” jelas Hery. (Teks/foto: Aris W Nuraharjo)