Siapa Menyayangi Yang Di Bumi, Akan Disayang Yang Di Langit
  • 5 Januari 2019
  • 581x Dilihat
  • Berita

Siapa Menyayangi Yang Di Bumi, Akan Disayang Yang Di Langit

BLAJ - “Apa yang tidak bernilai baik menurut budaya (tradisi ritual contohnya, red.), pasti tidak bernilai baik juga menurut agama”, demikian disampaikan Dr Pudentia, MPSs, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan sekaligus pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, saat memberikan pandangan dalam Seminar Hasil Penelitian Tradisi Ritual Keagamaan di Masyarakat yang diselenggarakan oleh Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta. Menurutnya, tradisi itu merupakan warisan budaya dan peristiwa sosial kemasyarakatan. Sebagai sebuah warisan, maka tidak mungkin hal-hal buruk yang diwarisi oleh para orang tua. Dan sebagai peristiwa sosial kemasyarakatan, tradisi mengikat dan mempererat ikatan sosial di mana tradisi itu tumbuh, hidup, dan berkembang.

Lebih lanjut Dr. Pudentia menjelaskan, bahwa tradisi ritual tidak bisa dilepaskan dari dua hal; pertama, konteks lingkungan di mana tradisi itu hidup dan berkembang karena tradisi juga dapat dipandang sebagai bentuk sistem pedagogi masa lalu. Kedua, masyarakat di sekitar tradisi tersebut ada, baik yang aktif maupun yang pasif. Karenanya tradisi dapat memperkuat simpul sosial masyarakat yang menaunginya. Kedua hal ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah tradisi yang ada di banyak tempat di Indonesia, sebab ada kode-kode budaya dan bahasa yang melekat dalam tradisi-tradisi tersebut. Atas dasar ini pula, maka jika ingin melestarikan sebuah bahasa, maka harus diiringi juga dengan melestarikan tradisi. Keragaman tradisi-tradisi ini yang membuat Indonesia unik.

Berbagai hasil kajian yang dilakukan oleh para peneliti Bidang Lektur Agama dan Keagamaan Balai Litbang Agama Jakarta, bekerjasama dengan Bantenologi dan Asosiasi Tradisi Lisan, ini menguatkan apa yang disampaikan oleh Dr Pudentia di atas. Selain itu, hasil-hasil kajian ini juga membuktikan bahwa agama dan tradisi dapat berjalan seiring dan tidak saling berbenturan. Seperti dikemukakan oleh Angga Marzuki, peneliti yang mengkaji Ratib Saman di Lingga, tradisi Ratib Saman di Lingga ini menunjukkan bagaimana warga Lingga menghayati dan mempraktikkan keislaman mereka yang dipadukan dengan tradisi yang sudah mereka jalani jauh sebelum Islam datang.

Melihat perkembangan tradisi yang kini mulai banyak ditinggalkan dan tidak sedikit pula yang hampir punah, Dr. M Adlin Sila, narasumber dari Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, menyatakan bahwa para peneliti perlu juga memperdalam analisis kajiannya dengan melihat dua aspek; pertama, bagaimana perubahan makna, instrumen, dan aspek-aspek tradisi yang hingga kini masih ada. Kedua, melihat peran dan pengaruh penguasa dan tokoh lokal dalam usaha membangkitkan tradisi ini.

Kegiatan yang dihelat selama dua hari pada 5-6 Oktober 2018 di Bekasi ini merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan penelitian yang dilakukan Bidang Lektur Agama dan Keagamaan Balai Litbang Agama Jakarta. Penelitian dilakukan di delapan wilayah yaitu, Lingga, Kerinci, Muara Enim, Bandar Lampung, Banten, Jakarta Timur, Bandung, dan Kuningan. Acara ini dibuka oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Lektur Agama, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Dr. Muhammad Zain yang didampingi Kepala Balai Litbang Agama Jakarta, Dr. Nuruddin. Pembukaan kegiatan ini diisi dengan penampilan tradisi Palang Pintu dan pembacaan Sike dari kelompok seni tradisi Betawi Setia Mekar.

Berkembangnya berbagai tradisi ritual di Indonesia, menurut Yahya Andi Saputra yang meneliti tradisi Baritan di Jakarta Timur, menunjukkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan orang-orang yang mengedepankan keselarasan dan keseimbangan hidup dengan lingkungan di mana mereka hidup. Tradisi ritual yang berkembang merupakan wujud rasa syukur atas berbagai karunia Tuhan yang disediakan di lingkungan mereka. Masuknya agama-agama baru kemudian tidak lantas menghapus tradisi-tradisi tersebut, justru malah memperkaya tradisi ritual dengan masuknya berbagai unsur-unsur agama ini. Tradisi-tradisi ritual yang berbaur dengan unsur-unsur agama ini seperti hendak menguatkan filosofi; siapa menyayangi yang di bumi, maka akan disayang Yang Di Langit . (Teks: Goes Noor/Foto: Aris W Nuraharjo)