Melahirkan Isa
  • Humas
  • 3 Maret 2025
  • 30x Dilihat
  • Opini

Melahirkan Isa

Di dalam kitab Fihi Ma Fihi, sufi besar Maulana Jalaluddin Rumi, mengambarkan tentang tingginya kadar nilai manusia yang sebetulnya dipatok oleh Allah. Kemuliaan ini tidak dimiliki oleh makhluk lain. Bumi, langit, gunung, dan seluruh alam semesta ini tak setara dengan kadar nilai kemuliaan manusia. “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,” (al- Isra:70). Sayangnya, manusia tidak menyadari keagungannya sehingga menjual dirinya dengan murah kepada hal-hal yang lebih rendah 

Berapa tinggi harga manusia? Allah telah mematok harga manusia sangat tinggi, sebagaimana dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (al- Taubah:111)

Kalau hanya dibanding dengan nilai harta yang masih bisa dihitung di bumi, atau nilai pangkat yang masih bisa diperebutkan, harga manusia sesungguhnya jauh lebih tinggi. Manusia lebih agung dari alam semesta. Nilai manusia adalah keabadian surga.

Menyadari harga tinggi manusia yang dipatok Allah, Rumi bersyair dengan sangat indah, tapi sungguh menohok di dada.

لا تبع نفسك رخيصا و انت نفيس جدا في عيني الحق

Artinya: “Jangan jual dirimu dengan murah, karena engkau sesungguhnya sangat mahal di mata Allah” 

Siapa manusia yang menjual murah dirinya itu? Mereka adalah manusia yang hanya sibuk memberi makan jasadnya, tapi mengabaikan jiwanya. Jiwanya dibiarkan sekarat karena tidak pernah diberi makanan dan minuman. Di mata Rumi, jasad hanyalah seekor kuda. Jiwalah yang menjadi penunggangnya. Dunia ini diibaratkan kandang kuda. Jika kita hanya disibukkan dengan makanan materi, maka kita hanya memberi makan kepada seekor kuda.

Sang Maulana memberi peringatan dengan kalimat-kalimat yang menyentuh hati: “Di dunia yang rendah ini, kau telah melupakan jenis makanan lain karena sibuk dengan makanan materi. Siang malam kamu beri makan tubuhmu. Tubuhmu hanyalah seekor kuda tunggangan dan dunia ini adalah kandangnya. Makanan kuda tentu tak akan menjadi makanan penunggangnya. Karena sang penunggang memiliki cara tidur, makan, dan kebahagiaan yang berbeda. Karena sifat hewan dan binatang mengalahkan jiwamu, maka tinggallah dirimu beserta kuda di kandangnya. Kau tak memiliki satu tempat pun di barisan raja-raja dan pimpinan negeri keabadian. [Jiwamu sesungguhnya penghuni negeri keabadian, sehingga] hatimu condong ke sana, tetapi tubuhmu telah mengalahkanmu, kamu tunduk pada aturannya dan menjadi tawanannya.” 

Puasa, di mana kita diminta untuk menunda makan, minum, dan segala konsumsi jasadiyah sesungguhnya adalah cara Allah untuk mengingatkan kita agar kita tidak terus-menerus menjadi tawanan tubuh. Dengan puasa, kita diingatkan Allah bahwa tidak hanya tubuh wadag yang butuh makan. Jiwa juga butuh makan. Bahkan, makanan bagi jiwa itu jauh lebih penting karena jiwalah sesungguhnya yang menjadi pengendara dan pemandu tubuh dalam menjalani hidup di dunia.

Tentu saja, tubuh yang diajak berpuasa akan merasa kesakitan. Tidak ada kelaparan yang tidak menyakitkan. Pun, tidak ada kehausan yang tidak menyakitkan. Lapar dan haus adalah musuh yang selalu dihindari tubuh. Tapi melalui derita inilah akan lahir kemuliaan jiwa. Ibarat kesakitan anak yang disapih dari ibunya, begitulah rasa sakit yang dialami tubuh akibat puasa akan menumbuhkan kemuliaan jiwa manusia. 

Proses yang terasa menyakitkan saat menggapai keagungan ini adalah sebuah keniscayaan yang sudah digariskan Allah atau sunnatullah. Tidak ada kejayaan yang bisa didapat dengan mudah, baik itu kejayaan di dunia mapun di akhirat. Tak ada kekayaan maupun kekuasaan, pengetahuan maupun ketenaran, yang bisa diperoleh dengan mudah tanpa melalui proses yang menyakitkan. Kisah kesakitan Maryam dalam melahirkan Nabi Isa alaih al-salam dijadikan Rumi sebagai kiasan dalam menggambarkan lahirnya keagungan jiwa, kembalinya manusia kepada ketinggian nilainya. 

Raga ini ibarat Maryam. Semua manusia memiliki Isa di dalam dirinya. Melalui puasa, kita menunda memberi makanan dan minuman kepada raga ini. Sebagai pihak yang selama ini dimanja dengan menuruti segala keinginannya, kerakusannya, nafsu syahwatnya, puasa tentu saja terasa menyakitkan bagi sang raga. Raga akan melawan perintah puasa karena itu menyakitinya.

Namun, jika kita bisa mengatur raga dan memaksanya untuk untuk berpuasa, maka seperti Maryam, kesakitannya akan melahirkan Isa. Namun, jika kita terus-menerus berhasil dimanipulasi oleh tuntutan raga, terus menyuapinya hingga muntah, memenuhi segala kerakusannya, jiwa kita akan mati. Tak ada kelahiran Isa tanpa didahului Maryam yang kesakitan. 

Jika rasa sakit tidak dirasakan tubuh, maka Isa akan kembali ke asalnya melalui jalan rahasia yang sama yang dilaluinya. Hidup ini menjadi hampa karena tidak memiliki makna. Keagungan dan kemuliaan yang sudah dipatok Allah atas manusia berubah menjadi onggokan daging busuk yang hina.

Di kitab ini juga, Rumi menyitir sebuah sajak indah yang ditulis Afdhaluddin al-Haqani Jiwa ruhaniahmu kelaparan, sementara raga luarmu kekenyangan. Setan makan dengan rakus sampai muntah, sementara seorang raja bahkan tak memiliki sepotong roti. Sekarang berobatlah, karena Isa-mu sedang berada di bumi. Ketika Isa telah kembali ke langit, maka semua harapan akan sirna.