Ibda’ bi Nafsik, Mulailah dari Dirimu Sendiri!
  • BLA Jakarta
  • 9 Februari 2024
  • 142x Dilihat
  • Opini

Ibda’ bi Nafsik, Mulailah dari Dirimu Sendiri!

Gambar

“Kemarin aku adalah seorang cerdik-pandai, maka aku ingin mengubah dunia. Tapi kini, aku seorang yang bijaksana, karena itu, aku akan mengubah diriku sendiri."

(Jalaluddin al-Rumi)

***

Di dalam tasawuf, ada sebuah ajaran etis yang sangat terkenal: ibda’ bi nafsik. Secara harfiyah, berarti “mulailah dari dirimu sendiri.” Hampir semua sufi mewejangkan ini kepada murid-muridnya. Bahwa, langkah pertama untuk seluruh perbaikan haruslah bermula dari perbaikan dan kebaikan diri sendiri.

Kalimat ini sangat sederhana, tapi memiliki makna yang dalam dan konsekuensi yang panjang. Ajaran ini menuntut konsistensi dalam tindakan. Juga, objektivitas dalam menilai diri sendiri dan orang lain. 

Betapa mudahnya seseorang melihat kejahatan pada orang lain, tapi lupa bahwa kejahatan yang sama bertahun-tahun telah dilakukannya. Betapa mudahnya seseorang merasa jijik dan marah dengan perilaku manipulatif seseorang, padahal dia sendiri juga melakukan hal yang sama.

Ajaran “mulailah dari dirimu sendiri” tidak melarang kita untuk mengingatkan, bahkan mengkritik orang lain yang kita pandang sedang melakukan kejahatan. Ajaran ini hanya mengingatkan kepada kita bahwa kita juga harus menerapkan standar moral yang sama terhadap diri kita.

Ajaran ini meminta kita untuk melihat diri sendiri lebih dulu sebelum menilai orang lain. Ketika kita menilai orang lain sebagai benar atau salah, pasti kita memiliki standar moral yang digunakan sebagai ukuran. Ukurlah diri sendiri dengan standar moral yang sama, yang kita gunakan untuk menilai orang lain.

Jika kita semua melakukan prosedur penilaian etis ini, maka setiap kritik kepada orang lain sungguh-sungguh akan menjadi sebuah proses perbaikan menuju kebaikan bersama. Hal ini karena kita juga menerapkan nilai yang sama terhadap diri sendiri, bahkan lebih dulu melakukannya. Kalau tidak demikian, maka penilaian dan kritik terhadap orang lain bukanlah sebuah proses perbaikan, tapi bisa jadi karena sedang tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan.

Bagaimana mungkin ada orang yang sangat murka terhadap seorang pencuri yang menggarong di salah satu rumah, sedang pada saat yang sama dia juga sedang maling di rumah sebelah.

Ajaran etis para sufi ini pada akhirnya juga menuntut objektivitas kita dalam memandang orang lain dan diri sendiri. Objektif adalah ketika kita membuat penilaian berdasarkan faktanya, bukan berdasarkan kepentingan kita. Misalnya, jika merusak alam kita nilai sebagai sebuah tindakan kejahatan, maka siapapun yang melakukannya tetap kita nilai sebagai kejahatan. Tidak peduli apakah si pelaku adalah sahabat yang kita sayangi atau musuh yang kita benci.

Bagaimana mungkin kita mengklaim melakukan penilaian objektif pada orang lain jika kita memaklumi perilaku yang sama ketika itu dilakukan oleh kekasih kita, atau bahkan kita sendiri melakukannya. 

Dari perspektif ini, tidak heran jika seorang sufi besar, Jalaluddin al-Rumi, pernah berucap: “Kemarin aku adalah seorang cerdik-pandai, maka aku ingin mengubah dunia. Tapi kini, aku seorang yang bijaksana, karena itu, aku akan mengubah diriku sendiri”. 

Apakah Rumi orang egois yang tidak peduli dengan sekelilingnya? Tidak. Rumi bukanlah seorang sufi yang tinggal di gua. Sepanjang hidupnya, dia adalah seorang pendidik yang berkontribusi terhadap perbaikan orang-orang di sekitarnya. Tapi dia juga adalah orang yang sangat waspada terhadap dirinya sendiri sehingga apa yang diajarkan pada orang lain juga adalah apa yang secara ketat dia terapkan pada dirinya sendiri.

Di sini, Rumi membagi antara orang yang cerdik-pandai dengan orang yang bijak. Dengan perangkat akalnya, orang cerdas bisa mengenali sebuah keburukan. Tapi apakah orang yang mengenali keburukan secara otomatis dia orang yang baik? Belum tentu.

Mengenali keburukan adalah satu hal, melaksanakan kebaikan adalah hal ini. Orang yang telah menubuhkan kebaikan di dalam dirinya sehingga tidak hanya sanggup menghafal daftar keburukan, tapi juga mampu melakukan kebaikan, dialah orang yang bijak. 

Itulah mengapa dalam praktik pendidikan, level terendah adalah transfer of knowledge (kognisi). Kalau Pendidikan hanya urusan transfer pengetahuan, pendidikan hanya akan menghasilkan murid-murid yang sanggup menghafal pengertian akhlak tapi sikap dan perilakunya buruk.

Padahal, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana menubuhkan ilmu menjadi sebuah sikap yang dihayati (afeksi) dan akhirnya melahirkan perilaku kebaikan (psikomotorik).

Apakah hanya karena tulisan ini saya berhak mengklaim saya adalah orang bijaksana? Tidak. Tulisan ini hanyalah sebuah muhasabah (perenungan diri/introspeksi), sambil berharap terus mawas diri. Sebaik apapun, toh kita hanya manusia, bukan malaikat.

Karena itu, tidak seharusnya kita menilai orang lain seakan orang lain itu seperti iblis, seakan-akan kita adalah malaikat yang suci. Padahal, bisa jadi setiap hari jiwa dan kelakuan kita adalah iblis. 

Di akhir tulisan ini, mari kita renungkan sya’ir Tanpo Waton karya Kiai Sufi kita, Gus Nizham: “Akeh kang apal Qur’an-Hadise, seneng ngafirke marang liyane. Kafire dewe dak digatekke, yen isih kotor ati akale.” Artinya: “Banyak orang yang hafal al-Qur’an dan hadits, senang menuduh kafir orang lain. Dia tidak sadar kekufurannya sendiri, bahwa hati dan akalnya penuh dengan kekotoran.”